Minggu, 29 September 2013

29.09.13 : Panen "Peuteuy" ...


BANDUNG: Saat mudik ke Kota Kembang, memang saat yang menyenangkan. Antar si buah hati ke sekolah, mampir ke stasiun besar Bandung dan bermain bersama sodara - bila mampir ke rumah.

Kapan tuh ? Ya bisa kapan-kapan dan sewaktu-waktu. Semisal waktu panen pete (Sunda : peuteuy), keponakan inilah yang rajin ke rumah dan gak heran foto-foto Ola biasanya mejeng bareng sama Uwa-nya he he he.

Ola berfoto saat sedang panen peuteuy dan hasil panennya dibagikan ke sodara, tetangga sampe keluarga besar semua. Syukur alhamdulillah, yang penting kebagian dan bisa mencicipi pete rasa manis karena dipanen di halaman rumah dan terawat baik.

Jreeeeeeng, pete !

Bandung, 29.09.13.

Selasa, 24 September 2013

24.09.13 : "Banten Expo 2013"

Hari Jum’at 20/09 hingga Selasa 24/09, PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan salah satu anak perusahaannya, PT Kereta Api Logistik (KALOG) mengikuti pameran yang diadakan oleh pemda setempat, guna memperingati hari jadi ke-13 Propinsi Banten.

Acara bertema “Banten Expo 2013” ini diadakan di Alun-Alun Kota Serang dan sebagai petugas jaga yang dapat giliran mejeng di momen tersebut, ya kita-kita inilah he he he. Lumayan menjelaskan produk KA penumpang “Krakatau” dari Merak ke Madiun.

Yang ngejelasin ke masyarakat, gak melulu kita-kita ‘lah tapi juga staf Pemasaran PT KAI Daop 1 disertai rekan-rekan dari stasiun Serang dan juga stasiun Rangkas merapat, menjangkau lebih dekat ke masyarakat luas.

KA ini merupakan produk teranyar dari wilayah barat ke timur dan cukup diminati masyarakat Jawa yang tinggal di propinsi Banten. Apalagi melintasi stasiun Serang jam 09.30 sedangkan berangkat dari stasiun Merak jam 08.45 dan perkiraan tiba di Madiun jam 00.30an.

Buat KALOG ? Ya ada juga prospek yang akan dikembangkan terkait angkutan barang, seperti sepeda motor dan kargo umum lainnya. Dalam waktu dekat bahkan KALOG akan membuka perwakilan di Cilegon, Rangkas dan Serang.

Simak cuplikannya dari aktifitas tersebut. Cheers.



                                                              Serang, 24.09.13.

Sabtu, 21 September 2013

21.09.13 : Jalan Bareng Si Buah Hati



BANDUNG: Biasa deh kalo pas mudik ke Kota Kembang, dapat jatah antar-jemput bidadariku ke sekolah dan jalan-jalan di hari Sabtu sepulang sekolah, pastinya.

Inilah salah satu anugerah dari Allah SWT yang patut kita disyukuri. Subhanallah, terima kasih Yaa Allah.

Bandung, 21.09.13.

Selasa, 17 September 2013

17.09.13 : Hikayat Negeri Tempe

Oleh Zen RS | Newsroom Blog – 16/09/13



Kalau Indonesia tak boleh jadi “bangsa tempe” seperti diwejangkan Soekarno, bolehkah jadi “bangsa pizza” atau “bangsa spaghetti”?

Jika tempe sempat atau bahkan masih diasosiasikan sebagai makanan kelas rendahan, barangkali Soekarno yang sedikit banyak kudu bertanggungjawab. 

Pidatonya pada 17 September 1963, yang diberi judul Genta Revolusi Indonesia, berkali menyebut “tempe” dengan pengertian yang nyaris sepenuhnya negatif.

Dalam pidato yang dibacakannya di Stadion Utama Senayan itu, setidaknya Soekarno menyebut “tempe” sebanyak 7 kali. Ada tiga kutipan tentang “tempe” di pidato itu yang menarik untuk dibicarakan justru karena relevansinya dengan krisis kedelai yang berimbas pada melonjaknya harga tempe belakangan ini.

Kutipan “tempe” pertama muncul saat dia menjelaskan keagungan dan kejayaan nenek moyang Indonesia. Begini kutipannya: “Tradisi bangsa Indonesia bukan tradisi tempe. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok.”

Dalam kutipan itu, “tempe” jelas diasosiasikan sebagai hal ihwal yang lembek, lemah, dan tak berdaya. Membandingkan antara “tradisi tempe” dengan kejayaan menguasai perdagangan di jalur samudera menghadirkan kontras yang kelewat tajam. 

Dari sejenis makanan, Soekarno mengajak pendengarnya untuk membayangkan kapal-kapal kokoh yang mengarungi lautan yang ganas oleh ombak dan perompak.

Kutipan “tempe” yang jauh lebih menarik dan lebih alegoris muncul saat Soekarno berbicara tentang kemandirian, tentang “berdiri di atas kaki sendiri” yang belakangan akronimnya, “berdikari”, malah jadi lema tersendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. 

Begini kutipannya: "Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diémbél-émbéli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplék tetapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak."

Pada kutipan itu, tempe disandingkan bukan dengan kapal-kapal yang jadi urat-nadi kejayaan Nusantara di jalur-jalur penting perdagangan di lautan. Di situ, tempe dibandingkan dengan jenis makanan juga yaitu “gaplek” dan “bistik”. Karena sama-sama disandingkan dengan makanan, maka kita tak merasakan kontras yang tajam. 

Persoalannya: jika gaplek adalah salah satu opsi jika ingin menjadi bangsa yang berdikari, sedangkan bistik adalah simbol kemewahan yang boleh jadi mesti ditukar dengan kemerdekaan, maka tempe berada di mana? Kutipan di atas menjelaskan bagaimana Soekarno menganggap “bangsa tempe” sebagai bangsa yang tak mandiri, yang hidup dengan bantuan dari negara lain.

Kutipan kedua ini menarik jika diperlakukan sebagai serangkaian alegori. Kita tahu, tempe tak bisa jadi semata hanya mengandalkan kacang kedelai. Bahan baku tempe memang kacang kedelai, tapi kedelai baru bisa jadi tempe setelah melewati proses peragian. Artinya, butuh ragi sebagai unsur tambahan agar kedelai bisa berubah menjadi tempe.

Inilah kiranya yang membuat Soekarno menggunakan frase “bangsa tempe” saat sedang berbicara tentang bangsa besar yang tak akan pernah “mengemis, tidak akan akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diémbél-émbéli dengan syarat ini syarat itu!”. 

Saat berbicara tentang kemandirian dan kemerdekaan, dia menyebut makanan “gaplek”. 

Kita tahu, proses pembuatan gaplek lebih praktis dan tidak membutuhkan bantuan dari unsur eksternal berupa jamur atau ragi. Singkong cukup dikupas, dicuci sampai bersih, dipotong-potong/diiris sesuai kebutuhan, direndam, dan lalu dijemur sampai kering. Jadilah gaplek. 

Kadang memang dibutuhkan sedikit garam saat potongan/irisan singkong itu direndam, tapi potongan singkong tetap jadi gaplek walau hanya dijemur begitu saja. Pada gaplek, potongan singkong itu dibiarkan menjadi gaplek melalui tempaan waktu, suhu, panas, dan dingin udara. 

Dan Soekarno memang sering berbicara tentang Indonesia yang “asli”, Indonesia yang “matang oleh berbagai tempaan kondisi dan situasi”. Soekarno selalu berbicara, bahwa revolusi ala Indonesia tumbuh bukan karena ragi yang dibiakkan dari luar, entah itu karena didikte Moskow atau Peking. 

Inilah yang dimaksud Soekarno pada pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dibacakan pada 17 Agutus 1959, sebagai Indonesia yang “…hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnja masyarakat kita”.

Pada kutipan ketiga, Soekarno menyebut tempe saat sedang berbicara tentang bangsa yang berani menghimpun kekuatan sekaligus menyerempet-nyerempet bahaya. Jika pada kutipan pertama dan kedua Soekarno membandingkan tempe dengan kapal-kapal dan jenis-jenis makanan, pada kutipan ini dia membandingkan tempe dengan bintang. 

Berikut kutipannya: “Kita-ini satu fighting nation apa tidak? Kita-ini satu bangsa tempe, ataukah satu bangsa banteng? Kalau kita satu bangsa yang berjuang, kalau kita satu fighting nation, kalau kita satu bangsa banteng, dan bukan satu bangsa tempe, – marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya, berani ber-Vivere Pericoloso!”

Di situ, tempe dikontraskan dengan banteng. Jika banteng adalah bintang yang dianggap berani menyerempet bahaya, berani menyeruduk-nyeruduk, maka tempe dijadikan alegori bangsa yang penakut, tak berani bertindak, dan enggan melawan. 

Untuk diketahui, banteng kadang dijadikan simbol sebagai kekuatan bumiputera oleh para raja di Jawa. Dalam acara-acara hiburan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat Belanda, raja-raja Jawa memang kerap menampilkan adu antara banteng dan harimau. Saat itu, harimau kerap jadi simbol Eropa, orang-orang kulit putih.

Tempe saat itu dibuat dengan lebih dulu mengupas kulit kedelainya dengan cara diinjak-injak. Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakopti), Aip Syarifudin, metode mengupas kedelai dengan menginjak-injak bahkan masih banyak dilakukan sampai sekarang.

Maka ketika Soekarno menyimpulkan, masih dalam pidato yang sama, bahwa Indonesia ternyata “…bukan negeri-témpé yang mudah ditémpékan orang”, maka kira-kira itu artinya adalah: Indonesia yang mandiri; yang berkembang dan tumbuh karena kekuatan sendiri, walau pun harus makan gaplek; dan bukan bangsa yang berkembang karena bantuan ragi yang diberikan bangsa lain; juga bukan bangsa yang sudi diinjak-injak agar segala kekurangan dan rintangannya terkelupas.

Dalam isu pangan, termasuk dalam soal kedelai dan tempe, seluruh kosa kata Soekarno di atas bisa diringkas ke dalam apa yang kita kenal sekarang sebagai “kedaulatan pangan”. 

Konsep ini sebenarnya adalah pengembangan, tapi kemudian menjadi anti-tesis, dari konsep “ketahanan pangan”. Jika “ketahanan pangan” mengisyaratkan ketersediaan pangan tak peduli dari mana pun asalnya [mau dari Vietnam atau Australia tak mengapa, yang penting tersedia], maka “kedaulatan pangan” mengisyaratkan bahwa sebaik-baiknya ketersediaan pangan adalah yang dipasok dari bumi kita sendiri, dari sawah dan ladang petani sendiri.

Tempe lagi-lagi bisa kita “seret” untuk dijadikan alegori tentang upaya membangun “kedaulatan pangan”. 

Seperti yang pernah diuraikan oleh almarhum Ong Hok Ham, populernya tempe di Nusantara dimulai pada abad-19 di tlatah Jawa. Memasuki abad 19 itu, penduduk Jawa melonjak secara drastis sehingga Jawa saat itu jadi wilayah paling padat di Asia Tenggara. Di sisi lain, asupan makanan juga semakin menipis karena lahan-lahan garapan semakin banyak yang dilahap jadi perkebunan-pekebunan kolonial. Hutan-hutan mulai dialihfungsikan menjadi kebun kopi, teh atau tembakau. 

Fenomena itu diikuti oleh sistem tanam paksa dengan para petani sebagai kulinya, membuat kesempatan berburu, beternak, atau pun memancing, jadi banyak berkurang. Dampaknya, menu makanan daging orang Jawa jadi berkurang. Kondisi semacam itu, tulis Ong, yang tampaknya memunculkan tempe sebagai alternatif penyelamat kesehatan rakyat di Jawa.

Lewat uraiannya itu, sejarawan eksentrik yang masyhur karena kecintaannya pada dunia kuliner ini seperti hendak mengatakan bahwa tempe adalah siasat rakyat kecil untuk bertahan hidup. Dengan kandungan proteinnya yang tinggi, yang membuat tempe kadang disebut sebagai “hasil perkebunan daging”, rakyat Jawa mencoba bertahan di tengah banjir bandang modal asing yang memunculkan jutaan hektar onderneming-onderneming di pelosok dan lereng-lereng gunung Jawa.

Soekarno tak pernah menyebut tempe sebagai makanan orang miskin. Seperti yang sudah diuraikan di atas, tempe dalam kosa kata Soekarno adalah alegori tentang bangsa yang tak mampu tumbuh dengan kekuatan sendiri, bangsa yang enggan bertarung dan ikhlas diinjak-injak.

Di ranah sehari-hari, dalam realitas yang diuraikan Ong tadi, tempe sebenarnya serupa gaplek: sama-sama sebagai “jaring pengaman perut” saat pangan utama sulit diakses, baik karena pasokan yang kurang atau karena harga yang kelewat mahal.

Sebagai “jaring pengaman perut”, tempe sudah ratusan tahun jadi benteng terakhir rakyat kecil. Nah, ketika benteng terakhir itu jebol dan tak sanggup lagi diakses, apa lagi yang akan dimakan?

Ini yang membuat kita – dengan mengutip Soekarno kembali-- boleh jadi adalah “negeri-témpé yang mudah ditémpékan orang” justru ketika tempe semakin sulit diakses. Bangsa tempe yang sulit makan tempe.

Kamis, 12 September 2013

12.09.13 : Heboh "Labil Ekonomi" Vicky Prasetyo, Korban Logika Mode?

Bisnis.com, JAKARTA - Hendrianto bin Hermanto alias Vicky Prasetyo (VP). Usianya, twenty nine my age. Ia mengaku senang musik, dan merindukan apresiasi dari khalayak masyarakat, bukan justru menuai cemooh dan olok-olok.

Mengapa berbondong-bondong penggembira media sosial, baik Facebook maupun Twitter, tersulut galau karena, "kita belajar, apa ya, harmonisasi dari hal terkecil sampai terbesar"?

Dalam tayangan cuplikan video C&R selama 59 detik yang diunggah di media sosial Youtube, Vicky yang bertampang klimis berpakaian parlente duduk berdampingan dengan artis dangdut Zaskia.

Video itu kemudian diunggah akun tv-ri pada 7 September 2013. Tajuk videonya "Wawancara Kocak Zaskia Gotik & Vicky Prasetyo" Vicky divonis sebagai orang yang sok memakai bahasa intelek, menggunakan bahasa gado-gado antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris yang terkesan sekenanya saja.

Ganjil, janggal, tidak berterima secara nalar, begitulah tudingan khalayak. Gaya bahasa Vicky diamini kemudian ditiru di Twitter dalam konteks banyolan.

Melalui akun @marischkaprue, bloger wisata Marischka Prudence pun berkicau, "Statusisasi perut lapar jam segini itu pasti karna konspirasi kemakmuran indomie deh...."

Berbekal kata "logika", dalam arti menurut akal sehat, khalayak meneliti dan menelaah ketepatan bernalar dari Vicky. Dia yang bertutur, "kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, statusisasi kemakmuran, dan labil ekonomi.", langsung divonis telah menyulitkan orang untuk memahami maksudnya.

Terbitlah tulisan-tulisan yang memandang Vicky telah mencederai gaya berbahasa. Situs jurnalisme warga Kompasiana menurunkan judul "Wawancara Kocak Zaskia Gotik & Vicky Prasetyo, Asli Bikin Ngakak".

Bagaimana pembaca tidak ngakak, penggunaan pasangan kata "kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, statusisasi kemakmuran, dan labil ekonomi", justru tidak berterima dari penggunaan bahasa pada umumnya.

Labrak Pakem
Apakah penggunaan bahasa bergaya Vicky ini hanya dikenal bagi dirinya sendiri? Ya, karena ia menabrak dan melabrak pakem bahwa jika kita menggunakan kata-kata yang umum, maka kita tidak memerlukan penjelasan-penjelasan lebih lanjut.

Apa yang dimaksudkan dengan "kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, statusisasi kemakmuran, dan labil ekonomi"? Kebanyakan orang menuntut maksud yang terang benderang dari pasangan kata yang dicetuskan oleh Vicky.

Selain itu, Vicky memang tahu tentang berbicara - baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris - hanya saja ia tidak tahu bagaimana berbicara dan berbahasa yang berterima secara nalar.

Ketika si Badu dilihat dan dinilai sebagai orang naif, bodoh, atau ceroboh, maka pengungkapan dan penilaian ini sama sekali tidak mengaitkan atau menghubungkan dengan pengetahuan ini atau pengetahuan itu.

Badu hanya tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu, karena ia orang naif, bodoh, atau ceroboh. Meminjam istilah yang sedang ngetren, Badu tidak kompeten dalam berbahasa. Artinya, Badu tidak tahu bagaimana berbicara dan berbahasa yang berterima secara nalar.

Kalau seseorang disebut sebagai wartawan, maka ia kompeten dalam meliput fakta dan peristiwa, kemudian menuangkannya dalam berita lempang atau karangan khas. Wartawan dapat melaksanakan setiap tugas jurnalistik.

Kalau seseorang disebut sebagai manajer profesional, maka ia kompeten dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan tata laksana perkantoran.

Nah, Vicky menghadapi soal, bahwa tutur gaya berbahasanya tidak dapat dan tidak mampu menggerakkan orang untuk melaksanakan sesuatu yang bermakna dalam hidup keseharian.

Apakah rentetan tuturan Vicky dari kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, statusisasi kemakmuran, sampai labil ekonomi, memang mampu menggerakan orang untuk melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan?
Omong Kosong
Kata-kata yang diucapkan Vicky sia-sia belaka alias absurd, alias omong kosong. Kata-katanya sama sekali tidak berdaya guna. Mengapa?

Kalau seseorang menyatakan ia punya uang sebanyak lima juta rupiah, maka pembicaraan dan penjelasan lanjutannya, apa yang bisa dibeli atau tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak lima juta rupiah itu. Bukan justru berbicara mengenai warna dari uang-uang itu, atau kapan uang-uang itu dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Makna kata atau konsep atau teori, hendaknya dikaitkan dengan pemakaian, penggunaan atau fungsi kata, konsep atau teori dalam hidup sehari-hari.

Heboh seputar Vicky Prasetyo mengerucut kepada tanya, apa gunanya berbusa-busa berpidato, apa gunanya njlimet dalam teori dan konsep, kalau akhirnya tidak bisa digunakan atau diterapkan?

Jangan jadi macan kertas, jangan jadi harimau mimbar, kalau kata-kata jauh api dari panggang, karena segala kata hendaknya bertuah dalam perbuatan dan berujung dalam tindakan. Meminjam istilah keseharian, jangan omong doang atau omdo, atau ngibul.

Apakah Vicky sedang membual? Boleh jadi, karena kata-kata yang ia ucapkan tidak bermakna apa-apa bagi perwujudan tindakan dan perilaku.

Silakan mencerna dan memahami pernyataan Vicky berikut ini, "Dengan adanya hubungan ini, bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident. Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga."

Apakah Vicky melakukan sesat pikir, atau sesat nalar? Boleh jadi, karena sesat pikir dan sesat nalar terjadi bila orang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan ia sendiri tidak melihat kesesatannya. Penalaran itu disebut sebagai paralogis.

Berapa banyak masyarakat membaca lewat media massa cetak, dan mencermati tayangan dari media elektronika yang berbau penalaran paralogis khas Vicky?

Berapa banyak masyarakat dijejali dan disesaki dengan pernyataan-pernyataan elite politik dan ekonomi yang kerapkali berbau penalaran "yang tidak ada gunanya"? Pernyataan-pernyataan bergaya Vicky, asal bunyi alias asbun.

Silakan mencermati bentang kepala berita dari sejumlah media massa cetak nasional, misalnya Harga Kedelai Diturunkan, sementara masih terngiang nyanyi sunyi dari balada produsen dan konsumen tempe tahu.

Bagaimana menjelaskan dengan terang benderang pernyataan, Tanjung Priok mengalami kemacetan setidaknya 47 hari ke depan, dan bagaimana menjelaskan bahwa polisi ditembak mati di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?

Pertanyaan lanjutannya, mengapa gaya berbahasa Vickymuncul? Vicky menjadi salah satu korban dari logika mode. Logika mode, menurut staf pengajar tetap Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Haryatmoko, mengarah kepada hal-hal yang spektakuler, dan sarat sensasi.

Logika mode memungkinkan pengingkaran terhadap masa lalu dan pemujaan terhadap segala yang baru. Logika mode berpatokan kepada fatsun bahwa yang baru itu senantiasa indah.

Logika mode menuntut pembaharuan terus menerus agar tetap diminati demi kelangsungan hidup di tengah dunia yang serba menuntut kompetisi, serba menuntut kecepatan, serba menuntut yang instan-instan saja. Logika mode bertujuan agar ditonton.

Dan heboh Vicky Prasetyo disebabkan oleh logika mode yang serba ingin baru, ingin nyeleneh, ingin ditonton oleh khalayak lewat media massa cetak, dunia maya, media massa elektronika. (A.A. Ariwibowo/antaranews/foto: liputan6.com/yus)

Sumber : Newswire – Bisnis Indonesia, 12.09.13.

Rabu, 04 September 2013

04.09.13 : 10 Kepribadian Muslim

10  MUWASHOFAT (KEPRIBADIAN) MUSLIM
(Hasan al-Banna)

Al-Qur'an dan Sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Peribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh, peribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.

Hasan Al Banna merumuskan 10 karakteristik muslim yang dibentuk didalam madrasah tarbawi. Karakteristik ini seharusnya yang menjadi ciri khas dalam diri seseorang yang mengaku sebagai muslim, yang dapat menjadi furqon (pembeda) yang merupakan sifat-sifat khususnya (muwashofat).

1.      Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam (QS 6:162).

Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.

2.      Shahihul Ibadah.
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.

3.      Matinul Khuluq.
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat.

Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung (QS 68:4).

4.      Qowiyyul Jismi.
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.

Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya:Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR. Muslim).

5.      Mutsaqqoful Fikri
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.

Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya:Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).

6.      Mujahadatul Linafsihi.
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.

Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).

7.      Harishun Ala Waqtihi.
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya.

Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.

Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.

8.      Munazhzhamun fi Syuunihi.
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.

Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.

“Kebatilan yang teratur, dapat mengalahkan kebenaran yang tidak teratur”. (Ali bin Abi Thalib)

9.      Qodirun Alal Kasbi.
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. 

Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.

Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.

10.  Nafi’un Lighoirihi.
Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.

Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).

Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 04.09.13 - kiriman seorang sahabat, Juda Hertanto.