Bisnis.com, JAKARTA - Pembahasan biaya sertifikasi halal melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) yang akan diatur melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) ditargetkan bisa rampung sebelum akhir tahun ini.
Namun, hingga kini kesiapan badan yang berada di bawah
naungan Kementerian Agama itu masih banyak dipertanyakan oleh sejumlah pelaku
usaha, khususnya terkait dengan infrastreuktur pendukung.
Selama ini, pelaku usaha banyak yang mengeluh lantaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di
masing-masing Kantor Wilayah (Kanwil)
Kemenag yang menjadi titik pelayanan sertifikasi halal di daerah masih
banyak yang belum siap dan tidak bisa memberikan informasi yang konkrit
mengenai pengajuan sertifikasi tersebut.
Demikian pula dengan situs resmi BPJPH beserta aplikasi Sistem Informasi Manajemen Halal (SIHALAL) yang
masih belum bisa diakses oleh pelaku usaha untuk mengajukan atau sekadar
mencari informasi mengenai sertifikasi halal yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No. 33/2014 tentang Jaminan
Produk Halal (JPH) itu.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BPJPH Sukoso mengatakan
pihaknya melalui PTSP yang tersebar di Kanwil Kemenag tingkat provinsi sudah
sejak 17 Oktober 2019atau saat diberlakukannya UU No. 33/2014 tentang JPH telah
melakukan pelayanan berupa pemberian informasi mengenai persyaratan, alur,
mekanisme pendaftaran, hingga pengembangan produk.
Selain itu, PTSP bersama dengan BPJPH Pusat di Jakarta
juga sudah menerima pendaftaran baik untuk pengajuan baru maupun perpanjangan
sertifikasi halal walaupun masih belum bisa diproses lantaran Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) yang mengatur hal tersebut belum terbit.
Saat ini diketahui pemerintah baru menerbitkan Peraturan Menteri Agama (Permenag) No.
26/2019 yang hanya mengatur tahapan JPH. Dalam aturan turunan undang-undang
dan peraturan pemerintah tersebut disebutkan wajib sertifikasi halal dimulai dari registrasi untuk pelaku usaha
makanan dan minuman (mamin).
Pendaftaran
untuk pelaku mamin dimulai pada 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024.
Sementara itu, untuk pelaku selain mamin pendaftaran dapat dilakukan mulai 17
Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2024.
“Berdasakan data Kemenag terbaru, pelayanan sertifikasi
halal yang sudah dilakukan baik di Kanwil Kemenag Provinsi atau BPJPH Pusat mencapai
1.561 pelayanan, paling banyak di BPJPH Pusat [sebanyak] 1.038 pelayanan,
sebagian besar diantaranya datang berkonsultasi menanyakan alur atau
prosesnya,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (12/2/2019).
Namun, Soekoso juga tak menampik bahwa masih banyak hal
yang perlu diperbaiki terkait dengan pelayanan sertifikasi halal yang
melibatkan PTSP di Kanwil Kemenag Provinsi di seluruh Indonesia hingga situs
resmi BPJPH dan aplikasi SIHALAL yang masih belum bisa diakses karena masih
diujicoba. Adapun waktu ujicoba yang dibutuhkan sekitar 3-6 bulan sejak 17
Oktober 2019.
“Kanwil itu dalam struktur organisasi dengan BPJPH itu
kita meminta bantuan kepada mereka. Untuk memaknai itu, tentunya teman-teman di
Kanwil tidak begitu paham 100% terhadap hal-hal yang terkait dengan halal ini.
Oleh karena itu, kita terus memperbaiki dan mengkomunikasikan hal yang terkait
dengan Kemenag kita kan mengenal PTSP yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam
rangka mengoptimalkan pekerjaan dari Kemenag kami numpang disitu dulu sambil
membangun sistem,” paparnya.
Lebih lanjut, terkait dengan kesiapan auditor dan lembaga
pemeriksa halal (LPH) selain Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI, BPJPH diketahui telah memiliki
226 auditor halal dan ditargetkan hingga 2024 mendatang jumlah tersebut
bertambah sampai dengan 5.000 auditor.
Adapun untuk LPH, BPJH telah menjalin kerjasama dengan 71
instansi yang sebagian besar diantaranya adalah perguruan tinggi negeri (PTN)
dan perguruan tinggi Islam, khususnya yang memiliki sistem manajemen mutu ISO
17025.
Kemudian terkait dengan biaya sertifikasi yang hingga
kini masih menjadi pertanyaan bagi pelaku usaha. Menurut Sukoso hal tersebut
sepenuhnya menjadi kewenangan Kemenkeu. Dia mengklaim sudah mengirimkan draf
mengenai biaya sertifikasi yang terlebih dahulu dibahas dengan LPH dan auditor
halal terkait kepada kementerian yang dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati itu.
“Kalau untuk biaya [sertifikasi halal] saat ini kami
sudah mengirimkan drafnya kepada Kemenkeu. Karena aturannya kan begitu, Menteri
Keuangan melakukan evaluasi bersama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian
karena terkait dengan omnibuslaw hal ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut, seraya menunggu pembahasan biaya
sertifikasi tersebut selesai, Sukoso menyebut pihaknya terus berkoordinasi
dengan melakukan forum group discussion bersama dengan kementerian atau lembaga
terkait, tak terkecuali Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan dan Kemenko Perekonomian.
“Semua dari kami (BPJPH) sebenarnya, kami itu sudah
[melakukan] FGD sejak Maret 2019. Jadi, bahan dasar dari kita semua, kami
mengajukan biaya sertifikasi halal untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
sekian, perusahaan besar sekian. Kemenkeu yang nantinya akan mengatur
besarannya, tetapi yang jelas tidak boleh melebihi yang kami ajukan. Untuk UMKM
dibebaskan [dari biaya],” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan
Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti mengatakan pembahasan mengenai PMK yang
mengatur biaya sertifikasi halal masih berlangsung.
Dia tak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai biaya
sertifikasi yang kabarnya akan dibebaskan untuk UMKM dan target penyelesaian
beleid tersebut.
“Pembahasan masih terus berlangsung, masih dibahas terus
dengan pihak Kemenko Perekonomian dan Kemenag,” katanya kepada Bisnis.com.
Penerimaan yang diperoleh BPJPH sebagai Badan Layanan
Umum (BLU) dari sertifikasi halal perlu diatur oleh Kemenkeu lantaran termasuk
dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan tersebut bisa langsung
digunakan untuk kebutuhan operasional tanpa perlu melalui mekanisme
penganggaran layaknya satuan kerja yang harus disetor terlebih dahulu ke kas
negara.
Namun, penerimaan tersebut harus dilaporkan kepada negara
melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) paling lambat 3 bulan
apabila melebihi rencana anggaran.
Wakil
Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPPMI) Rachmat Hidayat
mengatakan selain besaran biaya sertifikasi halal yang akan diatur dalam PMK,
pelaku usaha makanan dan minuman juga menantikan adanya beleid yang secara
khusus mengatur berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses sertifikasi
halal yang dilakukan oleh BPJPH.
“Belum ada kepastian waktu yang dibutuhkan mulai dari
pengajuan hingga sertifikat halal selesai dan diterima. Kami masih menunggu
Peraturan Menteri Agama (Permenag) tentang itu. Padahal kami diberikan waktu
hanya 5 tahun untuk registrasi,” katanya kepada Bisnis.com.
Adapun untuk pembebasan biaya bagi UMKM, hal tersebut
sudah sepatutnya dilakukan agar mereka bisa bertahan, khususnya dengan
perusahaan-perusahaan berskala besar yang dapat dengan mudah merogoh koceknya
untuk sertifikasi halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar