Kebayang ngga sih, biasa sibuk, ehh terus diam di rumah
dan ngga ngerjain sesuatu. Ya paling pol beres2 rumah ato anter anak isteri ke
sekolah + pasar. Setelah itu main game, WA ato internetan ?
Waaah kayaknya ngebayangin seperti itu berbahaya. Mending
doing something. Minimal, ada keinginan sekolah lagi ato nyambi jadi konsultan
kalo ilmunya mumpuni dan bekerja jika kondisi fisik masih baik + prima.
Think about it before deciding something but you dont
have experience as a retired.
--- quote ---
Mengapa Harus Tetap Bekerja Pada Saat Pensiun ?
Wibi Pangestu PratamaWibi Pangestu Pratama - Bisnis.com
08 Desember 2019
| 08:35 WIB
Secara
alamiah, produktivitas seseorang akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Ketika seseorang memasuki masa pensiun ternyata masih banyak yang tidak
mengubah gaya hidupnya karena tetap berpenghasilan melalui manfaat dana
pensiun.
Selain itu, angka
harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat sekarang ini menjadi 72 tahun.
Hal itu berarti, dengan rata-rata usia pensiun 55 tahun, maka masa pensiun
masyarakat bertambah menjadi 17 tahun.
Sayangnya, tujuh dari 10 orang pensiunan di Indonesia
justru bermasalah dalam keuangan karena banyak hal, salah satunya tidak
memiliki perencanaan dana pensiun.
Data
Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) menyebutkan
bahwa hanya sekitar 9 persen dari masyarakat yang hidup sejahtera pada masa
pensiunnya.
Sebanyak
18 persen masyarakat kembali bekerja di masa pensiun untuk memenuhi kebutuhan
keuangannya, dan 73 persen masyarakat bergantung kepada orang lain pada masa
pensiunnya.
Merujuk pada data tersebut, tidak mengherankan jika saat
ini banyak ditemukan banyak pensiunan yang terpaksa kembali bersusah payah
untuk bekerja layaknya pekerja di usia produktif.
Kepala
Bidang Humas & Pelayanan Konsumen Asosiasi DPLK Syarifudin Yunus
menjelaskan bahwa rata-rata masyarakat yang memasuki masa pensiun sangat
bergantung kepada anak dan sanak familinya.
Kondisi ini makin mengkhawatirkan karena berdasarkan data
yang sama, jumlah penghasilan masyarakat pada masa pensiun berkurang sekitar 41
persen—51 persen dibandingkan dengan pendapatan saat masih bekerja.
Selisih itu pun hanya berlaku bagi pekerja yang
mendapatkan uang pesangon dan aktif sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Total
penghasilan setelah pensiun yang diperoleh dari manfaat BPJS Ketenagakerjaan
berkisar 12,9 persen dari penghasilan setiap orang pada masa kerjanya.
Adapun, besaran pesangon yang diperoleh, apabila dibagi
setiap bulannya akan berkisar 16,4 persen sehingga total yang diperoleh setiap
orang berkisar 29 persen dari penghasilan semasa masih bekerja.
“Padahal, idealnya masyarakat mendapatkan penghasilan
pada masa pensiun sekitar 70 persen–80 persen dari penghasilan semasa kerja.
Artinya, ada kekurangan tingkat penghasilan hingga 51 persen agar masyarakat
dapat mempertahankan gaya hidup yang sama dengan saat dia bekerja,” ujar Yunus.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa seseorang yang berpenghasilan
Rp10 juta per bulan pada masa produktif, rata-rata hanya memiliki penghasilan
sekitar Rp5–6 juta per bulan pada masa pensiun.
Pendapatan masa pensiun yang sedemikian kecil ini—sekali
lagi—hanya berlaku bagi 32,5 juta penduduk yang tercatat sebagai peserta aktif
BPJS Ketenagakerjaan ini.
Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki dana pensiun
atau menjadi peserta dari BPJS Ketenagakerjaan itu? Yunus mengatakan bahwa
dapat dipastikan pendapatan dari pekerja informal pada masa pensiunnya akan
jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang memiliki dana pensiun.
“Belum lagi orang tua pasti akan menghadapi masalah
kesehatan. Apabila penghasilan pada masa pensiun rendah, bergantung pada orang
lain, dan tidak memiliki asuransi, maka makin berat jadinya,” ujarnya.
MANFAAT
DANA PENSIUN
Senada, Direktur
Utama Mandiri DPLK Syah Amondaris mengatakan bahwa masih banyak orang yang
menggantungkan urusan finansial pada masa pensiun kepada orang lain, utamanya
pada anaknya. Menurutnya, hal ini tidak semestinya terjadi jika masyarakat
memiliki kesadaran untuk mengelola dana pensiun sejak dini.
Menurutnya, tujuan didirikannya industri DPLK untuk
membantu masyarakat dalam mengelola keuangannya pada masa pensiun. Namun, dalam
kondisi masyarakat yang belum siap memasuki masa pensiun, jumlah kepesertaan
DPLK pun belum tumbuh signifikan.
Berdasarkan data Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), jumlah peserta DPLK pada 2018 mencapai 3,2 juta orang,
tumbuh 6,02 persen (year on year/yoy) dibandingkan dengan 2017 sebanyak 3,05
juta orang. Dalam 3 tahun terakhir, pertumbuhan jumlah peserta tercatat terus
sebanyak single digit.
Syah mengatakan bahwa hal itu akibat rendahnya kesadaran
masyarakat untuk mengelola dana pensiun melalui DPLK, yang kepesertaannya
bersifat sukarela. Berbeda dengan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang
bersifat wajib.
Selain itu, industri DPLK seringkali menghadapi banyak
hambatan dari sisi dana untuk melakukan sosialisasi kepada khalayak tentang
pentingnya dana pensiun.
“Industri DPLK ini keuntungannya kecil kalau dibandingkan
jasa keuangan lainnya. Nah, sosialisasi kan [perlu] biaya juga, sudah
keuntungan kecil, perlu keluar banyak biaya, sehingga sosialisasi belum
optimal,” ujarnya.
Dia menjelaskan, industri ini perlu stimulus dari
pemerintah agar kepesertaan DPLK terus meningkat, salah satunya melalui
insentif pajak bagi perusahaan yang mengelola uang pensiun karyawannya melalui
DPLK. Insentif pajak bagi peserta perseorangan pun dinilai dapat mendongkrak
jumlah kepesertaan DPLK.
Syah pun menilai bahwa pengelolaan dana pensiun melalui
DPLK memiliki keuntungan lebih jika dibandingkan dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Pasalnya, peserta dapat meningkatkan besaran iurannya sehingga jumlah uang
terkumpul turut meningkat dan manfaat yang diterima pada masa pensiun turut bertambah.
Rendahnya kepesertaan publik dari DPLK tidak karena merasa cukup dengan
mengandalkan BPJS Ketenagakerjaan saja.
Direktur DPLK Muamalat Lilies Sulistyowati menilai,
publik seringkali merasa bahwa kepesertaannya di BPJS Ketenagakerjaan sangat cukup
untuk memenuhi kebutuhan finansial pada masa pensiun.
Penilaian serupa pun terjadi di sejumlah perusahaan yang
hanya memberikan manfaat pensiun wajib, yakni melalui BPJS Ketenagakerjaan.
Selain itu, sosialisasi dari pemerintah mengenai keberadaan DPLK masih sangat
minim, sehingga manajemen perusahaan yang merasa telah memenuhi kewajibannya
merasa tidak perlu menyiapkan dana pensiun lebih bagi karyawannya.
“Seharusnya ada kebijakan pemerintah yang menyatakan
bahwa kalau sudah [mendaftarkan karyawannya] ke DPLK ya tidak perlu wajib ke
BPJS Ketenagakerjaan. Sekarang ada beberapa perusahaan menutup DPLK-nya dengan
alasan dananya sudah dialihkan ke BPJS, karena kalau tidak dia akan kena
tegur,” keluhnya.
Pengamat asuransi yang juga Mantan Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga mengatakan, yang
patut mendapatkan perhatian lebih dari kasus di atas adalah pekerja sektor
informal yang tidak seluruhnya terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
“Faktanya, sebagian besar penduduk Indonesia itu
jangankan untuk program pensiun, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja
masih kurang, sehingga tidak ada pendapatan yang disisihkan untuk masa
pensiun,” ujarnya.
Jadi, dia mendorong pemerintah agar lebih sering
melakukan sosialisasi tentang pentingnya persiapan dana pensiun, khususnya
melalui DPLK.
Menurut dia, kemandirian finansial pada masa pensiun
bukan semata-mata untuk kebaikan setiap orang, melainkan juga untuk stabilitas
perekonomian negara.
Dia menjelaskan bahwa inflasi biaya kesehatan menjadi
salah satu momok bagi masyarakat berusia tua. Salah satu upaya untuk menjaga
kesehatan masyarakat usia tua melalui mempertahankan gaya hidup dan memiliki
proteksi asuransi, tetapi dua hal tersebut sulit terjadi jika pengasilan mereka
terlampau rendah.
“Dari dulu saya selalu mengatakan kapan sebaiknya program
pensiun dimulai? Mulai begitu punya pendapatan. Mulai dari persentase yang
kecil seperti 3 persen, 5 persen, uangnya diikutkan ke DPLK. Jadi, makin lama
akan makin besar.”
Jika hal tersebut tidak segera diselesaikan oleh para
pihak berkepentingan, maka pada masa mendatang akan makin banyak orang tua atau
bahkan telah masuk dalam kategori lanjut usia masuk ke dunia kerja demi memenuhi
kebutuhan hidup.
Sumber : Bisnis, 06.12.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar