Oleh: Syansanata Ra
(Yeddi Aprian Syakh al-athas)
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
DETIKNEWS (11/4/2020) - Suara
dentuman yg terdengar Sabtu dini hari (11/4/2020) menghebohkan netizen di Tanah
Air. Banyak yang mengaku kaget lantaran suara tersebut mampu menggetarkan
jendela dan daun pintu.
Pantauan detikcom di kawasan
Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (11/4/2020), dentuman mulai terdengar sekitar
pukul 01.57 WIB dan terdengar beberapa kali. Sementara itu, di kawasan Limo,
Depok, dentuman terdengar mulai pukul 02.00 WIB. Suara dentuman terdengar pelan
beberapa kali dengan selang waktu. Suara dentuman juga terdengar di kawasan
Beji, Depok, sekitar pukul 02.20 WIB. Bukan hanya terdengar di kawasan Jakarta
Selatan, hingga Depok, Jawa Barat, suara dentuman rupanya juga terdengar hingga
Desa Kadungmangu, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sekitar pukul
02.40 WIB.
Tidak hanya didengar oleh warga
Jakarta Selatan, Depok, dan Bogor, ternyata suara dentuman ini juga didengar
salah seorang warga bernama Azhar Zul Firqan di Parepare, Sulawesi Selatan,
yang mengaku mendengar suara dentuman pada pukul 04.00 Wita (atau sekitar pukul
03.00 WIB).
https://m.detik.com/news/berita/d-4973299/warga-parepare-sulsel-juga-ngaku-dengar-dentuman-tadi-subuh
Banyak spekulasi kemudian
bermunculan terkait suara dentuman yang terdengar sabtu dini hari (11/4/2020)
ini.
Melansir dari CNNIndonesiacom,
Ahli Vulkanologi sekaligus mantan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), Surono menyatakan bahwa dentuman dan gemuruh yang
dirasakan warga Jakarta dan Jawa Barat pada Sabtu (11/4/2020) dini hari
diyakini berasal dari aktivitas Anak Gunung Krakatau.
https://m.cnnindonesia.com/teknologi/20200411050231-199-492511/ahli-vulkanologi-sebut-dentuman-dari-anak-krakatau
Namun pernyataan Ahli
Vulkanologi, sekaligus mantan Kepala Badan Geologi ini dibantah oleh Kepala
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), Kasbani, yang menyatakan bahwa suara dentuman
tersebut tidak terkait dengan erupsi Anak Gunung Krakatau.
https://m.detik.com/news/berita/d-4972991/pvmbg-dentuman-dini-hari-ini-bukan-berasal-dari-erupsi-anak-krakatau
Pernyataan Kepala Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) ini kemudian dibenarkan oleh Kepala Pusat Penelitian Laut
Dalam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nugroho Dwi Hananto yang
menyatakan bahwa suara dentuman yang terdengar di kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) itu bukan berasal dari erupsi Anak
Gunung Krakatau, melainkan berasal dari suara gemuruh beruntun Petir yang
kebetulan terjadi secara bersamaan.
https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/303074-lipi-dentuman-berasal-dari-suara-petir-besar-bersamaan
Namun pernyataan Kepala Pusat
Penelitian Laut Dalam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini dibantah
oleh Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas
Djamaluddin, yang menyatakan bahwa suara dentuman tersebut bukan berasal dari
Petir, karena data liputan awan yang dipantau LAPAN pada Sabtu (11/4/2020) dini
hari tidak menunjukkan adanya awan yang potensial menimbulkan Petir di wilayah
Jabodetabek. Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga
menyatakan bahwa suara dentuman tersebut bukan berasal dari Meteor.
https://m.detik.com/news/berita/d-4973574/soal-dentuman-dini-hari-lapan-bukan-meteor-bukan-petir
Pernyataan Kepala Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) ini dibenarkan oleh Kepala Pusat
Gempabumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG),
Rahmat Triyono yang menyatakan bahwa hasil monitoring Petir menggunakan peralatan
lightning detector menunjukkan bahwa pada Sabtu (11/4/2020) dini hari tidak
terjadi aktivitas Petir. Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami, Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga menyatakan bahwa suara dentuman tersebut
bukan berasal dari aktivitas Gempa Tektonik.
https://palu.tribunnews.com/amp/2020/04/11/bmkg-pastikan-asal-suara-dentuman-misterius-bukan-dari-gempa-erupsi-gunung-anak-krakatau-atau-petir
Kemudian yang menjadi
pertanyaannya adalah:
"Jika suara dentuman yang
terdengar di kawasan Jakarta Selatan, Depok, Bogor, hingga Parepare, Sulawesi
Selatan pada Sabtu (11/4/2020) dini hari itu bukan berasal dari erupsi Anak
Gunung Krakatau, aktivitas Gempa Tektonik, Petir ataupun Meteor, lantas
darimana gerangan sumber suara dentuman itu berasal?"
Di tengah ketidakjelasan dari
mana sumber suara dentuman pada Sabtu (11/4/2020) dini hari itu berasal, sebuah
analisis yang cukup masuk akal datang dari seorang Vulkanolog Institut
Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, yang menjelaskan bahwa suara
dentuman itu bisa saja berasal dari aktivitas yang terjadi di dapur magma
gunung berapi.
Secara lebih detail, Mirzam
Abdurrachman menjelaskan bahwa sumber suara dentuman bisa terjadi akibat dari
aktivitas kegunungapian yang berasal dari dapur magma. Saat magma berpindah
tempat dari dapur magma yang dalam ke dapur magma yang dangkal, maka akan
terjadi kekosongan pada dapur magma yang dalam. Kondisi ini kemudian diikuti
dengan ambruknya dapur magma yang dalam, dan ambruknya dapur magma yang dalam
kemudian menghasilkan suara dentuman dan juga getaran di daerah sekitarnya.
Mirzam Abdurrachman juga
menjelaskan bahwa suara dentuman keras "misterius" juga pernah
terjadi di tiga lokasi letusan gunung berapi yang berbeda di dunia.
Peristiwa pertama terjadi pada
musim panas tahun 2000 antara tanggal 26 Juni dan 7 Juli. Suara dentuman
terdengar sebelum terjadinya kolaps kaldera pada Gunung Miyakejima, Jepang.
Dentuman tersebut terjadi beberapa kali sebelum akhirnya berhenti dan kemudian
gunung tersebut erupsi sebanyak 6 kali. Letusan eksplosif yang terjadi pada
Gunung Miyakejima ini disebabkan oleh perpindahan magma yang terjadi dari dapur
magma sehingga menghasilkan amblesan atau kolaps di puncak Gunung Miyakejima.
Suara dentuman keras kedua
terjadi pada tahun 2007 saat terjadinya kolaps kaldera di Piton de La Fournaise
yang terletak di Pulau Reunion, Samudera Hindia dekat Kepulauan Madagaskar.
Gunung dengan ketinggian 2.632 meter di atas permukaan laut ini termasuk ke
dalam tipe gunung perisai dengan erupsi seperti gunung-gunung api di Pulau
Hawaii.
Dan suara dentuman keras ketiga
terjadi pada November 2018 sebelum meletusnya sebuah gunung bawah laut di
Kepulauan Mayotte. Hal ini menandakan aktivitas seismik yang unik dan
dikabarkan sebagai letusan bawah laut terbesar di dunia. Dikutip dari situs
Live Science, disebutkan bahwa dentuman tersebut diawali oleh dentuman pada
satu frekuensi yang tunggal. Padahal umumnya gelombang seismik biasanya
bergemuruh di banyak frekuensi.
Nah melihat pada fenomena suara
dentuman keras "misterius" yang terjadi di tiga lokasi letusan gunung
berapi di atas, Mirzam Abdurrachman tidak bisa memastikan apakah suara dentuman
"misterius" yang terdengar di kawasan Jakarta Selatan, Depok, Bogor,
hingga Parepare, Sulawesi Selatan pada Sabtu (11/4/2020) dini hari tersebut
bakal diikuti oleh erupsi gunung berapi atau tidak, karena hal ini perlu dikaji
terlebih dahulu dengan data kegempaan serta perubahan temperatur dan pelepasan
gas.
Namun jika kita berkaca pada apa
yang terjadi pada Gunung Batuwara di masa lalu, maka bukan tidak mungkin jika
suara dentuman "misterius" yang terdengar di kawasan Jakarta Selatan,
Depok, Bogor, hingga Parepare, Sulawesi Selatan pada Sabtu (11/4/2020) dini
hari merupakan pertanda awal yang kemudian diikuti dengan terjadinya erupsi
gunung berapi.
David Keys, seorang arkeolog dan
koresponden koran “The Independent” London, dalam bukunya yang berjudul
“Catastrophe: An Investigation into the Origins of the Modern World” (1999),
yang merujuk pada catatan sejarah dari sebuah naskah Jawa kuno berjudul
"Pustaka Raja Purwa" menyebutkan sbb,
"Ada SUARA GUNTUR yang
MENGGELEGAR berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan,
kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang
meooongerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar
datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika
air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau
Sumatra”.
Dalam versi yang berbeda yang
diyakini juga berasal dari naskah Jawa Kuno berjudul "Pustaka Raja
Purwa" disebutkan sbb,
"SUARA MENGGELEGAR datang
dari Gunung Batuwara, yang dijawab dengan suara serupa dari Gunung Kapi.
Pijaran api menggelora, hingga mencapai langit, keluar dari gunung itu. Seluruh
dunia terguncang dan SUARA GUNTUR terus MENGGELEGAR, bersamaan dengan hujan
deras dan kilat di tempat itu, tapi air itu bukan memadamkan api di Gunung
Kapi, malah mengobarkan api lebih dahsyat. Suaranya sangat menakutkan, hingga
membuat Gunung Kapi hancur berkeping-keping hingga masuk ke dalam bumi. Air
laut mulai membanjiri daratan, daerah di timur Batuwara hingga Rajabasa
tenggelam ke dalam laut. Kehidupan di bagian utara Sunda hingga ke Gunung
Rajabasa tenggelam dan menghanyutkan harta benda mereka. Api telah memenuhi
daratan itu, di mana Gunung Kapi telah berubah menjadi laut, dan Pulau Jawa
terbelah menjadi dua bagian, menciptakan Pulau Sumatra”.
Catatan naskah Jawa Kuno berjudul
"Pustaka Raja Purwa" di atas seakan membenarkan apa yang disampaikan
oleh Mirzam Abdurrachman,
yang saat ini menjabat sebagai
Koordinator Gunung Api, Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) Institut
Teknologi Bandung (ITB) terkait fenomena suara dentuman keras
"misterius" yang berasal dari aktivitas vulkanik yang terjadi sebelum
terjadinya erupsi sebuah gunung berapi akibat dari berpindah tempatnya magma
dari dapur magma yang lebih dalam ke dapur magma yang lebih dangkal (pergerakan
naik dari bawah ke atas) sehingga menghasilkan amblesan atau kolapsnya sebuah
gunung (pergerakan dari atas ke bawah).
Fenomena inilah yang dalam
Al-Qur'an disebut sebagai fenomena ZILZAAL yang berarti "guncangan"
atau "gempa bumi" yang diabadikan sebagai nama surat ke-99 yakni
Surat Al-Zalzalah.
Kata ﺯﻟﺰﻝ
(Zalzala) yang berarti “guncangan” berasal dari kata ﺯﻟﻞ
(Zalla) yang secara harfiah berarti “tergelincir”. Penambahan huruf Za
diantara huruf Lam menunjukkan makna pengulangan untuk mengindikasikan bahwa
kata ﺯﻟﺰﻝ (Zalzala)
bermakna guncangan yang berulang-ulang.
Kata Zilzaal yang diulang sampai
2 kali dalam kalimat Zulzilatil ardhu zilzaalaHaa menunjukkan intensitas
guncangan yang luar biasa dahsyat. Kalimat Zulzilatil ardhu zilzaal juga
mengindikasikan bahwa setiap bagian, setiap inchi dan setiap partikel dari bumi
ikut bergoncang dengan dahsyat.
Menurut para ulama pakar Bahasa
Arab, bentuk pengulangan seperti kata Zilzaal ini biasanya diakhiri dengan
akhiran “aan” sehingga menjadi kata ﺯﻟﺰﺍﻻ (Zilzaalaan). Namun ayat pertama Surat
Al-Zalzalah justru menggunakan kalimat Idzaa zulzilatil ardhu zilzaalahaa,
bukannya Idzaa zulzilatil ardhu zilzaalaan. Kondisi dalam kalimat yang unik dan
tidak biasa ini mengindikasikan bahwa guncangan ini unik dan tidak biasa. Ada
ulama yang berpendapat bahwa penggunaan kata ZilzaalaHaa menunjukkan bahwa bumi
memang diciptakan dan dirancang oleh Allah untuk “bergoncang” dengan dahsyat di
akhir zaman.
Kalimat Zul / zilatil / ardhu /
zil / zaalaHaa menunjukkan rangkaian peristiwa sebagai berikut: guncangan
(zul), berhenti, guncangan lagi namun lebih dahsyat dan lebih panjang durasinya
(zilatil), berhenti lagi, kemudian guncangan lagi (ardhu), kemudian berhenti
lagi, dan guncangan lagi (zil), dan berhenti lagi, dan pada akhirnya terjadi
guncangan yang paling hebat dan paling dahsyat (zaalaHaa).
Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa
tafsir dari ayat pertama Surah Az-Zalzalah ini maksudnya adalah bergerak dan
bergetar dari bagian bawahnya hingga menimbulkan guncangan yang dahsyat.
Sementara Ustadz Adi Hidayat, Lc,
MA dalam salah satu video ceramahnya di media sosial menyebutkan bahwa makna
kata ﺯﻟﺰﻝ (Zalzala) dalam Surat Al-Zalzalah adalah
guncangan atau gempa yang menyebabkan sesuatu yang berada di bagian atas
bergerak ke arah bawah, dan sesuatu yang berada di bagian bawah naik menjadi
berada di bagian atas alias bertukar posisi.
Pemaknaan kata ﺯﻟﺰﻝ
(Zalzala) ini memiliki kemiripan dengan apa yang disampaikan oleh Mirzam
Abdurrachman terkait fenomena suara dentuman "misterius" yang berasal
dari aktivitas vulkanik yang terjadi sebelum terjadinya erupsi sebuah gunung
berapi akibat dari berpindah tempatnya magma dari dapur magma yang lebih dalam
ke dapur magma yang lebih dangkal (pergerakan naik dari bawah ke atas) sehingga
menghasilkan amblesan atau kolapsnya sebuah gunung (pergerakan dari atas ke
bawah).
Nah fenomena ﺯﻟﺰﻝ
(Zalzala) inilah yang sejak ribuan tahun yang silam telah diprediksi
dalam sebuah manuskrip kuno beraksara Koptik berjudul "Akbar Ezzeman"
yang ditulis oleh Ibrahim bin Wasyff Shah (koleksi Perpustakaan Bodleian,
Universitas Oxford No. 9973) yang sekarang sudah menjadi Manuskrip Bruce No. 28
dan kemudian dikutip oleh al-Mas‘udi (ditransliterasi menjadi El-Masoudi), dan
kemudian ditransliterasi dengan judul "The History of Time" (koleksi
Museum Inggris No. 7503) yang saat ini dikenal dengan judul "Akhbār
al-zamān" dan dianggap oleh sebagian orang sebagai karya dari Abul Hasan
Mas'udi dengan judul "Akhbar al-Zaman wa man Abādahu al-Hadatsani"
yang berjumlah 30 jilid.
Manuskrip kuno beraksara Koptik
yang ditulis oleh Ibrahim bin Wasyff Shah tersebut menyebutkan sebagai berikut,
حتى اذا تساوى الرقمان
“Hingga
ketika (tiba tahun) dengan dua angka yang sama (Tahun 2020 -versi
penulis)"
وتفشى مرض الزمان
"Dan mewabahnya MARADHU
az-Zamaan (Penyakit Zaman)"
فارتقبوا شهر مارس
"Maka tetaplah di tempatmu
(mulai dari) Bulan Maaris (Bulan Maret)"
زلزال يهد الاساس
"(Karena akan terjadi)
ZILZAALA (goncangan) yang akan memunculkan dasar (lempeng bumi bagian bawah
-versi penulis)"
*
Apa yang diprediksi dalam
Manuskrip kuno beraksara Koptik serta merta mengingatkan saya akan apa yang
disampaikan oleh Rasululullah saw ketika sedang memberikan petuah dan nasehat
kepada para sahabat, tiba-tiba terdengar suara DENTUMAN yang cukup keras.
Mengutip dari apa yang tertulis
dalam Kitab “Assajaru Huliqa Darul Bathny Wal Darul Munajat” disebutkan bahwa
ketika Rasulullah saw sedang memberikan petuah dan nasehat, tiba-tiba terdengar
oleh mereka (yang hadir saat itu) suara DENTUMAN sebanyak 3 kali
berturut-turut, lalu salah seorang dari sahabat bertanya kepada Rasulullah saw:
“Wahai
Rasulullah saw, bunyi apakah gerangan tadi?”
Kemudian Rasulullah saw menjawab:
“Sesungguhnya
bunyi DENTUMAN yang baru kita dengar bersama-sama tadi adalah menurut Firman
Allah swt yang telah diwahyukan kepadaku melalui hadist qudsi bahwa jauh di
sebelah Timur Arabia ini ada DUA GUGUSAN TANAH yang telah MEMPERKENALKAN
DIRINYA KEPADA DUNIA, sedangkan menurut hakikat rahasia keyakinan hatiku bahwa
manusia yang menjadi penghuni negeri itu sebagian besar akan mengikuti seruanku
yaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah swt."
(Sumber: Kitab “Assajaru Huliqa
Darul Bathny Wal Darul Munajat”)
Nah ada yang menarik dari apa
yang diprediksikan dalam Manuskrip kuno beraksara Koptik yang ditulis oleh
Ibrahim bin Wasyff Shah, khususnya pada kalimat:
وتفشى مرض الزمان
"Dan mewabahnya Maradhu
Az-Zamaan (penyakit zaman)"
Banyak pengkaji naskah manuskrip
kuno yang menterjemahkan kalimat ini sebagai "wabah" atau
"tha'un", padahal kata مرض (maradhu) ini justru disebut dalam 13 ayat di
dalam Al-Qur'an, sehingga ketika kita memahami apa makna dari kata مرض
(maradhu) yang ada dalam ke-13 ayat di dalam Al-Qur'an maka kita akan
paham apa yang dimaksud dengan "Maradhu Az-Zamaan" (penyakit zaman).
Dan kata مرض
(maradhu) yang disebut dalam 13 ayat di dalam Al-Qur'an, justru
dikaitkan dengan: (1) kebiasaan berdusta (QS. Al-Baqarah 2:10), (2) kebiasaan
menipu (QS. Al-Anfaal 8:49), (3) kebiasaan menyebarkan kabar bohong / hoax (QS.
Al-Ahzab 33:60), (4) ketakutan akan bencana (QS. Al-Maa'idah 5:52), (5) cobaan
(QS. Al-Hajj 22:53), (6) sebab bertambahnya kekafiran (QS. At-Taubah 9:125),
(7) keragu-raguan (QS. An-Nuur 24:50), (8) penyakit (QS. Asy-Syuara 26:80), (9)
kemunafikan (QS. Al-Ahzab 33:12), (10) sebab datangnya perintah berdiam diri di
rumah (QS. Al-Ahzab 33:32-33), (11) takut mati (QS. Muhammad 47:20), (12)
kedengkian (QS. Muhammad 47:29), (13) cobaan bagi orang kafir dan ujian bagi
orang beriman (QS. Al-Mudatsir 74:19).
Sampai disini akhirnya kita paham
bahwa Al-Qur'an memberikan kita 13 makna sekaligus terkait kata مرض
(maradhu) yang jika seluruhnya dirangkai menjadi satu akan memberikan
kita pemaknaan yang utuh tentang apa itu "Maradhu Az-Zamaan"
(penyakit zaman), yakni diantaranya:
(1) Kebiasaan berdusta/berbohong.
(2) Kebiasaan menipu.
(3) Kebiasaan menyebarkan kabar
bohong/hoax.
(4) Ketakutan akan bencana.
(5) Takut Mati.
(6) Cobaan/fitnah bagi orang
kafir.
(7) Sebab bertambahnya kekafiran.
(8) Keragu-raguan.
(9) Kemunafikan.
(10) Kedengkian.
(11) Penyakit Tha'un.
(12) Sebab datangnya perintah
berdiam diri di rumah (social distancing/karantina).
(13) Ujian bagi Orang Beriman.
Nah ternyata ketiga belas makna
kata مرض
(maradhu) inilah yang dimaksud sebagai "Maradhu Az-Zamaan"
(penyakit zaman). Bisa jadi ketiga belas "Maradhu Az-Zamaan"
(penyakit zaman) inilah yang menjadi sebab terjadinya fenomena ﺯﻟﺰﻝ
(Zalzala) yakni guncangan atau gempa yang menyebabkan sesuatu yang
berada di bagian atas bergerak ke arah bawah, dan sesuatu yang berada di bagian
bawah naik menjadi berada di bagian atas alias bertukar posisi, yang memiliki
kemiripan dengan fenomena aktivitas vulkanik yang terjadi sebelum terjadinya
erupsi sebuah gunung berapi akibat dari berpindah tempatnya magma dari dapur
magma yang lebih dalam ke dapur magma yang lebih dangkal (pergerakan naik dari
bawah ke atas) sehingga menghasilkan amblesan atau kolapsnya sebuah gunung
(pergerakan dari atas ke bawah) dan kemudian menimbukkan suara dentuman yang
berulang-ulang.
Namun ada satu pemaknaan
kata مرض (maradhu) yang menarik untuk dibahas terkait
fenomena suara dentuman "misterius" yang terdengar di kawasan Jakarta
Selatan, Depok, Bogor, hingga Parepare, Sulawesi Selatan pada Sabtu (11/4/2020)
dini hari, yakni kata مرض (maradhu) yang ada pada QS. Al-Mudatsir ayat
19, dimana ayat ini mengkaitkan kata مرض (maradhu) dengan bilangan "19"
sebagai perumpamaan, dimana dengan bilangan ini, orang-orang yang diberi
Al-Kitab menjadi yakin, dan orang yang beriman menjadi bertambah keimanannya,
serta orang yang diberi Al-Kitab dan sekaligus orang yang beriman menjadi
hilang keragu-raguannya.
Bilangan "19" itu
sendiri yang disebut dalam QS. Al-Mudatsir ayat 19 sebagai perumpamaan
sesungguhnya merujuk akan fenomena berpindahnya kalimat BASMALAH yang berjumlah
"19" huruf dari Surat At-Taubah (surat ke-9) yang tidak dibuka dengan
Basmalah ke Surat An-Naml (surat ke-27) yang di dalamnya memiliki dua Basmalah
sekaligus. Dimana perpindahan dari surat ke-9 ke surat ke-27 itu sendiri
berjarak "19" bilangan (dari 9 sampai 27).
Dan ketika perpindahan kalimat
Basmalah sejauh 19 bilangan (dari Surat ke-9 ke Surat ke-27) ini digambarkan
dalam bentuk Piramida Berundak, dimana Surat ke-9 (Surat At-Taubah) ditempatkan
pada posisi Puncak sebagai "perumpamaan" dari Jabal Rahmat di Padang
Arafah sebagai Gunung Tempat Bertobat, dan Surat ke-27 (Surat An-Naml atau
Surat Semut) ditempatkan pada posisi Dasar sebagai "perumpamaan" dari
Wadin Namlu atau Lembah Semut, maka kita akan mendapatkan sebanyak 17 buah
undakan atau 17 buah tangga naik dari Surat ke-27 sebagai
"perumpamaan" dari Wadin Namlu atau Lembah Semut menuju Surat ke-9
sebagai "perumpamaan" dari Jabal Rahmat di Padang Arafah.
Sebagai Umat Islam tentunya kita
tahu bahwa Jabal Rahmat di Padang Arafah adalah tempat bertemunya Nabi Adam as
dan Ibunda Hawa, sedangkan Wadin Namlu atau Lembah Semut adalah tempat
bertemunya Nabi Sulaiman as dan Ratu Semut yang mengingatkan rakyatnya agar
tidak terinjak oleh pasukan Nabi Sulaiman as.
Nah pemaknaan kata مرض
(maradhu) pada QS. Al-Mudatsir ayat 19 yang berkaitan dengan bilangan
"19" yang dimaknai sebagai
berpindahnya kalimat Basmalah dari Surat ke-27 yang berada di Dasar Piramida
Berundak sebagai Wadin Namlu atau Lembah Semut NAIK melalui 17 anak tangga ke Surat
ke-9 yang berada di Puncak Piramida Berundak sebagai Jabal Rahmat atau Gunung
Tempat Bertobat, yang berkaitan dengan kalimat "Maradhu Az-Zamaan"
yang disebut dalam Manuskrip Kuno beraksara Koptik yang ditulis oleh Ibrahim
bin Wasyff Shah yang menjadi sebab dan peringatan akan terjadinya
زلزال يهد الاساس
yang bermakna "akan terjadi
ZILZAALA (goncangan) yang akan memunculkan dasar (lempeng bumi bagian bawah)
naik ke atas permukaan bumi", yang ketika dikaitkan dengan fenomena suara
dentuman "misterius" yang terdengar di kawasan Jakarta Selatan,
Depok, Bogor, hingga Parepare, Sulawesi Selatan pada Sabtu (11/4/2020) dini
hari kemarin, jelas merupakan sebuah "perumpamaan" akan terjadinya
perpindahan aktivitas vulkanik yang bergerak dari bawah (dapur magma yang lebih
dalam) yang bergerak NAIK menuju atas (dapur magma yang lebih dangkal) dimana
perpindahan ini kemudian menimbulkan suara dentuman yang berulang-ulang. Dan
perpindahan aktivitas vukkanik ini tentunya berkaitan erat dengan keberadaan
sebuah GUNUNG.
Nah pertanyaannya kemudian
adalah:
"GUNUNG apakah gerangan yang
dimaksud?"
Jawabnya ternyata ada dalam Uga
Wangsit Siliwangi Versi Naskah Jagasatru VI berikut ini,
"Engke jaga amun tengah
peuting ti GUNUNG HALIMUN ku arinyana kadenge SORA NU TUTUNGGULAN, tah eta
tanda nu teu sulaya, GUNUNG SUNDA baris dicengkal deui. Tapi GUNUNG KUTA
dipahilikeun jeungbGUNUNG KUTU ku jelema ngaku-ngaku urang Sunda anu kamalinaan
dina keur sasar mamaksa sina Uga Ngawaruga samemeh wayah. Ulah rawayan dia
beunang disambat. Tapi memang arinyana baris kapadaya heula. Lantaran
leungiteun HANEULEUM. Hanteu aringet deui wayah saenyana LEBAK CAWENE. Jadi
enggon pindah pangawinan dibalabarkeun heula ku di wayah janari gede. Rame SORA
TUTUNGGULAN ti GUNUNG LUMPANG, laju ti GUNUNG HALIMUN kadenge sora
GOGOONGAN."
( Uga Wangsit Siliwangi Versi
Naskah Jagasatru VI )
Terjemahan:
“Kelak
jika tengah malam dari GUNUNG HALIMUN terdengar SUARA BERULANG-ULANG, itu
adalah tandanya, tidak salah lagi. GUNUNG SUNDA yang berbaris akan diukur lagi.
Tapi GUNUNG KUTA ditukar dengan GUNUNG KUTU oleh orang yang mengaku Bangsa
Sunda yang telah terlena dalam jalan yang salah, memaksa agar Uga Ngawaruga
terjadi sebelum waktunya. Jangan sampai kalian mau diajak. Tapi memang kalian
akan terpedaya sebab telah kehilangan HANELEUM. Sudah tidak ingat lagi waktu,
bahwa LEBAK CAWENE telah menjadi kamar dan pindah pelaminan, kalian dipagari sementara terlebih dahulu
saat menjelang SUBUH terdengar ramai SUARA BERULANG-ULANG dari GUNUNG LUMPANG,
terus dari GUNUNG HALIMUN terdengar SUARA DENTUMAN seperti Suara Gong.”
( Uga Wangsit Siliwangi Versi
Naskah Jagasatru VI )
Jadi, lewat Uga Wangsit Siliwangi
Versi Naskah Jagasatru VI ini, akhirnya kita memperoleh informasi bahwa
fenomena suara dentuman "misterius" yang terdengar di kawasan Jakarta
Selatan, Depok, Bogor, hingga Parepare, Sulawesi Selatan pada Sabtu (11/4/2020)
dini hari adalah Suara Dentuman yang terdengar seperti Suara Gong yang
berulang-ulang yang terdengar pada tengah malam menjelang Subuh yang asalnya dari
GUNUNG HALIMUN.
Ungkapan "tengah malam"
sebagai penanda dari ungkapan Prabu Siliwangi dalam pandangan seorang Budayawan
Sunda, Lucky Hendrawan yang kerap dipanggil dengan nama Abah Uci, bila
dikaitkan dengan rentang zaman, sama dengan zaman kegelapan, gelap itu hitam,
dan ini berarti masuk dalam wilayah kekuasaan Sang Hyang Wisnu. Artinya, masuk
ke Zaman Kali Yuga.
Dan apa yang disampaikan oleh
Lucky Hendrawan atau Abah Uci ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam The
Journal of The Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, Volume 17,
Tahun 1881, yang mengutip Kitab Veda Markandeya Purana yang menggambarkan sosok
Sang Hyang Wisnu seperti GUNUNG KUTA yang memiliki cahaya terang benderang yang
menerangi seluruh wilayah yang ada di sekitar gunung tersebut.
Kemudian terkait GUNUNG HALIMUN
disini, bisa saja dimaknai secara fisik, yang merujuk kepada Gunung yang berada
di gugusan Gunung Gede Pangrango, Bogor, Jawa Barat.
Dan bukan sebuah kebetulan jika
Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendra
Gunawan, menyatakan bahwa suara dentuman terdengar dari pos pengamat GUNUNG
GEDE dan GUNUNG SALAK pada Jumat (10/4/2020) malam.
https://www.pmjnews.com/2020/04/11/pvmbg-jelaskan-soal-dentuman-keras-dari-gunung-gede-dan-salak/
Berikutnya, naskah Uga Wangsit
Siliwangi Versi Naskah Jagasatru VI menyebutkan bahwa kelak jika tengah malam
dari GUNUNG HALIMUN terdengar SUARA BERULANG-ULANG, itu adalah tandanya.
Tanda apa?
Yakni tanda bahwa "GUNUNG
SUNDA baris dicengkeul deui" yakni GUNUNG SUNDA yang berbaris akan diukur
kembali.
Yang dimaksud disini adalah bahwa
keberadaan Dataran Sunda (Sunda Land)
sebagai sebuah kawasan purba yang dikenal sebagai ATLANTIS akan menjadi ramai
diperbincangkan kembali, bukan hanya oleh masyarakat Indonesia, melainkan oleh
masyarakat dunia. Dan hal ini dibenarkan oleh Prof. Arysio Santos dalam bukunya
"Atlantis The Lost Continelly Finally Found" yang menyimpulkan bahwa
ATLANTIS tenyata berlokasi di Sunda Land, yang jauh sebelumnya telah ditulis
oleh Oppenheimer dalam bukunya "Eden in The East, The Drowned Continent in
South East Asia" yang menyimpulkan bahwa Asia Tenggara atau tepatnya
Paparan Sunda Land adalah lokasi “Surga Eden” tempat lahirnya peradaban umat
manusia sedunia, pada kurun waktu 80.000 – 6.000 tahun yang lalu.
Ahli geologi Belanda, R.W. Van
Bemmelen, menjelaskan bahwa SUNDA adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menamai suatu dataran bagian barat laut India Timur (East Indies). Dataran
SUNDA (Sunda Land) dikelilingi oleh sistem GUNUNG SUNDA yang MELINGKAR yang
disebut sebagai "Circum-SUNDA Mountain System" yang panjangnya
sekitar 7.000 km. Dataran SUNDA (Sunda Land) itu terdiri atas dua bagian utama,
yaitu: (1) bagian utara yang meliputi kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang
sepanjang Lautan Pasifik bagian barat, serta (2) bagian selatan yang terbentang
dari barat ke timur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku
bagian selatan. Selanjutnya, Dataran SUNDA (Sunda Land) ini bersambung dengan
sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran SAHUL (Sahul Land) di timur."
(Bermmelen, 1949:2-3)
Perhatikan dengan seksama
penjelasan R.W. Van Bemmelen tentang Sunda Land di atas, bukankah Van Bemmelen
menyebutkan tentang adanya GUNUNG SUNDA yang MELINGKAR yang disebut sebagai
"Circum-SUNDA Mountain System". Nah GUNUNG SUNDA yang MELINGKAR
inilah yang dimaksud dalam naskah Uga Wangsit Siliwangi Versi Naskah Jagasatru
VI dengan istilah "GUNUNG SUNDA BARIS" yang maknanya merujuk kepada
GUNUNG SUNDA yang MELINGKAR yang disebut sebagai "Circum-SUNDA Mountain
System".
Selanjutnya, sejumlah pulau yang
kemudian terbentuk di Dataran SUNDA (Sunda Land) diberi nama dengan menggunakan istilah SUNDA
juga, yakni Kepulauan SUNDA BESAR (The Greater Sunda) dan Kepulauan SUNDA KECIL
(The Lesser Sunda). Yang dimaksud dengan Kepulauan SUNDA BESAR (The Greater
Sunda) adalah gugusan pulau-pulau yang berukuran besar yang terdiri atas
pulau-pulau: Sumatra, Jawa, Madura, Kalimantan dan Sulawesi. Sedangkan yang
dimaksud dengan Kepulauan SUNDA KECIL (The Lesser Sunda) adalah gugusan
pulau-pulau seperti: Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Kepulauan
Barat Daya dan Kepulauan Tanimbar." (Bermmelen, 1949:15-16)
Nah ketika "GUNUNG SUNDA
BARIS" atau "GUNUNG SUNDA MELINGKAR" yang disebut sebagai
"Circum-Sunda Mountain System" telah mulai diukur kembali, maka
inilah masanya dimana BUDAK ANGON dan BUDAK JANGGOTAN akan segera muncul dan
pergi ke LEBAK CAWENE.
Berikutnya naskah Uga Wangsit
Siliwangi Versi Naskah Jagasatru VI memberikan petunjuk dengan kalimat
"tapi GUNUNG KUTA ditukar dengan GUNUNG KUTU oleh orang yang mengaku
Bangsa Sunda yang telah terlena dalam jalan yang salah". Nah kalimat ini
dilihat baik secara fisik maupun secara simbolik. Secara fisik, GUNUNG KUTU
adalah nama sebuah gunung yang menjadi batas sebelah selatan LEBAK CAWENE.
Sedangkan dalam The Journal of The Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland, Volume 17, Tahun 1881, disebutkan bahwa MOUNT KUTA atau GUNUNG KUTA
adalah sebuah gunung yang terletak di wilayah North Celebes atau Sulawesi
bagian Utara. Sehingga dengan demikian makna dari kalimat "GUNUNG KUTA
ditukar dengan GUNUNG KUTU" bermakna bahwa GUNUNG KUTA yang terletak di
North Celebes atau Pulau Sulawesi bagian Utara ditukar dengan GUNUNG KUTU yang
menjadi batas sebelah selatan LEBAK CAWENE. Dari sisi Utara ditukar menjadi
sisi Selatan. Dan keduanya berkaitan dengan Pulau Sulawesi dan LEBAK CAWENE.
Nah pertanyaannya adalah:
"Jangan-jangan LEBAK CAWENE
itu justru adanya di Sulawesi, dan bukan di Jawa Barat".
Mari kita cari tahu bersama...
Dalam naskah Pantun Bogor episode
"Ronggeng Tujuh Kalasirna" diperoleh gambaran tentang LEBAK CAWENE,
yaitu:
"Cenah mah sagala teh sareba
emas/batu-batuna anu gararede sagede-gede kebo, kabeg teh emas bae/koralna,
keusikna, kaleutak-leutakna kabeh teh emas tulen anu konengna semua beureum"
( Naskah Pantun Bogor episode
"Ronggeng Tujuh Kalasirna" )
Terjemahan:
"Katanya segalanya serba
emas, batu-batunya sebesar kerbau, semuanya dari emas, koralnya, pasirnya,
tanah lumpurnya semua emas asli, yang kuningnya agak kemerah-merahan"
( Naskah Pantun Bogor episode
"Ronggeng Tujuh Kalasirna" )
Setidaknya dari naskah Pantun
Bogor episode "Ronggeng Tujuh Kalasirna" diperoleh informasi bahwa
ciri-ciri LEBAK CAWENE adalah batu-batunya sebesar kerbau, semuanya mengandung
emas, batu kerikilnya, pasirnya dan bahkan tanah lumpurnya semua berwarna
kuning agak kemerah-merahan.
Nah melihat ciri-ciri ini, maka
lokasi LEBAK CAWENE bisa dimana saja, tidak mutlak harus di Jawa Barat, bisa di
Sumatera dengan Ophirnya, bisa di Sulawesi yang memang tanahnya kemerah-merahan
dan bisa juga di Papua dengan tambang emas Freeportnya.
Namun merujuk kepada The Journal
of The Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, Volume 17, Tahun
1881, yang menyebutkan perihal MOUNT KUTA atau GUNUNG KUTA yang terletak di
North Celebes maka patut dicurigai dan patut diduga bahwa letak LEBAK CAWENE
berada di Pulau Sulawesi.
Pertama, terkait ciri-ciri LEBAK
CAWENE yang batu-batunya sebesar kerbau, bukankah di Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah terdapat situs megalitikum raksasa yang dikenal dengan nama Lembah Bada.
Disana kita akan dengan mudahnya menemukan peninggalan megalitikum seperti:
Patung Kerbau, Patung Monyet, Patung Perempuan terbaring di sungai, patung
kepala kampung dan patung putri raja yang rata-rata berukuran 1-1,5 meter,
serta Patung Palindo setinggi lebih dari 4 meter. Dan semua patung-patung ini
terbuat dari batu.
Kedua, terkait ciri-ciri LEBAK
CAWENE yang batu kerikilnya, pasirnya dan bahkan tanah lumpurnya semua berwarna
kuning agak kemerah-merahan, Prof. Andi Nurmiyati Mapangandro dalam buku
berjudul "Sang Pemegang Kitab dari Negeri Bijih Besi" yang masih
dalam tahap perampungan, menyebutkan bahwa Pulau Sulawesi adalah satu-satunya
wilayah yang ada di muka bumi yang di lautannya menancap gunung-gunung yang
berfungsi menahan laju samudra, sehingga ia memiliki sifat samudra, dimana air
lautnya yang asin yang menyerap ke daratan tertahan oleh kandungan Bijih Besi
sehingga pasir pantainya mengandung logam Nikel dan Emas. Prof. Andi Nurmiyati
Mapangandro juga menyebutkan bahwa tanah yang ada di Sulawesi, utamanya di
daerah Toraya (Enrekang sekarang) seluruhnya berwarna merah. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa Tanah berwarna Merah adalah pertanda bahwa bijih besi adalah
mineral yg dominan di tempat itu, selain itu merahnya tanah menjadi penanda
bahwa di tempat itu umurnya sudah sangat tua alias sudah memasuki fase
pelapukan akhir. Nah dari apa yang diungkapkan oleh Prof. Andi Nurmiyati
Mapangandro dalam bukunya yang berjudul "Sang Pemegang Kitab dari Negeri Bijih
Besi" ini jelas menjadi hujjah yang tak terbantahkan bahwa Pulau Sulawesi
adalah LEBAK CAWENE yang keberadaannya dicari-cari selama ini. Semua ciri-ciri
LEBAK CAWENE yang disebutkan oleh naskah Pantun Bogor episode "Ronggeng
Tujuh Kalasirna" seperti batu-batunya sebesar kerbau, semuanya mengandung
emas, batu kerikilnya, pasirnya dan bahkan tanah lumpurnya semua berwarna
kuning agak kemerah-merahan, seluruhnya ada di Pulau Sulawesi. Terlebih dengan
adanya literatur The Journal of The Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland, Volume 17, Tahun 1881, yang menyebutkan bahwa MOUNT KUTA atau GUNUNG
KUTA berada di North Celebes atau di Sulawesi Utara.
Dalam naskah Uga Wangsit
Siliwangi vesi Jagasatru VI dan Pantun Bogor, keduanya menyebutkan kalimat
"tapi kalian akan terpedaya terlebih dulu sebab kehilangan
HANEULEUM". Inilah tanda-tanda yang diprediksi oleh Prabu Siliwangi akan
muncul sebelum munculnya BUDAK ANGON. Bila tidak segera bertindak, telaga akan
jebol. Kata "HANEULEUM" dan "jebolnya telaga" terlihat
memiliki hubungan sebab akibat. Mengapa kehilangan HANEULEUM bisa menyebabkan
jebolnya telaga?
Dalam Kamus Umum Bahasa Sunda,
kata HANDEULEUM adalah kata lain dari HANEULEUM, yang merujuk pada nama pohon
sejenis puring yang namanya berkaitan dengan warna dan bentuk daunnya, sehingga
dikenal ada Handeleum Hejo (hijau), Handeleum Siyeum (hitam ungu), Handeleum
Belang, Handeleum Uncal dsb. Dalam pengertian HANEULEUM sebagai Pohon
HANDEULEUM, tentu sulit untukbmenemukan keterkaitan antara kehilangan HANEULEUM
dengan jebolnya tanggul. Maka terkait dengan hal ini, tentunya yang dimaksud
dengan HANEULEUM disini bukanlah Pohon HANDEULEUM. Menurut Ki Kalong Hideung,
HANEULEUM mengandung arti titipan yang harus diberikan kepada yang akan datang.
Tapi karena yang berhak menerima titipannya tidak kunjung datang, maka kemudian
titipan tersebut dititipkan kepada orang lain. Namun karena terlalu lama
menunggu dan yang berhak menerima titipan tidak juga datang, akhirnya orang
yang dititipi sudah mulai lupa dengan titipan tersebut. Kalaupun kemudian dia
ingat, dia sudah tidak tahu apa
sesungguhnya yang dititipkan itu. Nah HANEULEUM dalam arti inilah yang
cocok dihubungkan dengan kedatangan BUDAK ANGON dalam naskah Uga Wangsit Siliwangi.
Nah pertanyaannya adalah:
"HANEULEUM atau titipan
tentang apa yang dititipkan kepada BUDAK ANGON hingga dikatakan bahwa jika
kehilangan HANEULEUM bisa menyebabkan jebolnya telaga?"
Jawabnya:
Titipan tentang rahasia
"Sesar Megathrust Sulawesi Utara" yang dalam literatur The Journal of
The Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, Volume 17, Tahun 1881,
terkait erat dengan keberadaan MOUNT KUTA atau GUNUNG KUTA di North Celebes
(Sulawesi Utara).
Dalam buku "Peta Sumber dan
Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017"
yang diterbitkan oleh Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN) disebutkan bahwa
wilayah Pulau Sulawesi memiliki 48 struktur sesar aktif dan 1 Zona Megathrust
Sulawesi Utara.
Nah ke-48 struktur sesar aktif
dan 1 Zona Megathrust Sulawesi Utara ini terhubung langsung dengan GUNUNG BAWAKARAENG.
Pertanyaannya adalah:
"Ada apa dengan GUNUNG
BAWAKARAENG?"
Jawabnya:
GUNUNG BAWAKARAENG yang terletak
di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan ini terkait erat dengan keberadaan ATLANTIS
yang menurut Prof. Arysio Santos berada di wilayah Paparan Dataran Sunda (Sunda
Land), dimana Sulawesi berada di Dataran Sunda Besar (The Great Sunda).
Perlu dicatat bahwa para perajin
besi dari ATLANTIS yang oleh Plato, sang filsuf Yunani Kuno dikisahkan selalu
mengirimkan perhiasan ke Benua Eropa adalah para perajin besi wanita yang
tinggal di bawah kaki GUNUNG BAWAKARAENG yang hilang dalam waktu sehari semalam
akibat meletusnya GUNUNG BAWAKARAENG sehingga mengakibatkan Daratan ATLANTIS
atau Paparan Dataran Sunda (Sunda Land) hilang tenggelam ke dasar samudera.
Selain itu, dalam sebuah Seminar
dan Kaduppakang Gunung Bulu Bawakaraeng di Istana Tamalate, Senin (6/8/2019)
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Gowa bersama Forum Intelektual
Selatan Sulawesi (FISS) Parimpungan Anak Gowa dan Kriyaw Pecinta Alam selama
dua hari dengan mengangkat tema "Kembalikan Kedudukan Gunung Bulu Bawakaraeng"
disimpulkan bahwa dalam sejarah, GUNUNG BAWAKARAENG pernah tercatat mengalami 3
kali erupsi, namun status GUNUNG BAWAKARAENG saat ini sudah menjadi gunung mati
alias gunung yang tidak lagi menunjukkan aktivitas vukkanik sama sekali,
ditunjukkan dengan tidak adanya kandungan lahar di dalam dapur magmanya, namun
hasil penelitian justru menunjukkan fakta mencengangkan lainnya bahwa ternyata
GUNUNG BAWAKARAENG menyimpan debit air dengan volume yang sangat tinggi, dan
saat ini telah berhasil ditemukan tujuh pintu mata air baru di bawah kaki
GUNUNG BAWAKARAENG. Inilah sebabnya mengapa GUNUNG BAWAKARAENG dapat
menenggelamkan satu daratan ATLANTIS hanya dalam sehari semalam dan ini pulalah
sebabnya gunung ini dinamai
dengan nama BAWAKARAENG, yang berarti "Pintu Tuhan".
Nah disinilah kemudian baru dapat
dipahami makna dari kalimat "kehilangan HANEULEUM bisa menyebabkan
jebolnya telaga" dalam naskah Uga Wangsit Siliwangi, yang maknanya merujuk
kepada ketidaktahuan akan titipan pengetahuan tentang rahasia keberadaan Zona
Megathrust Sulawesi Utara yang dalam literatur The Journal of The Royal Asiatic
Society of Great Britain and Ireland, Volume 17, Tahun 1881, dikaitkan dengan
keberadaan MOUNT KUTA atau GUNUNG KUTA di North Celebes (Sulawesi Utara) yang
harus dipantau terus-menerus karena jika sewaktu-waktu terjadi aktivitas
vulkanik ataupun aktivitas tektonik di Zona Megathrust Sulawesi Utara ini maka
akan terhubung langsung dengan sesar aktif yang berada di bawah kaki GUNUNG
BAWAKARAENG di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang dalam Naskah Uga wangsit
Siliwangi disebut sebagai GUNUNG KUTU yang terlwtak di sisi selatan LEBAK
CAWENE, dan jika terjadi pergeseran pada sesar aktif yang berada di bawah kaki
GUNUNG BAWAKARAENG ini maka akan berdampak pada jebolnya Bendungan Air dengan
volume yang sangat tinggi yang berada di dalam Perut GUNUNG BAWAKARAENG yang
pada masa lampau mampu menenggelamkan satu Paparan Daratan ATLANTIS.
Inilah yang dimaksud oleh Naskah
Uga Wangsit Siliwangi dengan kalimat "kehilangan HANEULEUM bisa
menyebabkan jebolnya telaga" yakni jebolnya Bendungan Air Maha Dahsyat
yang berada di kaki GUNUNG BAWAKARAENG.
Semoga hal ini tidak akan terjadi
dan Semoga orang yang dititipi HANEULEUM atau titipan pengetahuan akan rahasia
keberadaan GUNUNG KUTA di sisi utara LEBAK CAWENE yakni Zona Megathrust
Sulawesi Utara dapat memahami dengan baik puzzle-puzzle dalam Naskah Uga
Wangsit Siliwangi, karena naskah ini bukan hanya untuk kepentingan Wangsa Sunda
yang disalahartikan hanya sebagai Suku Sunda yang ada di Jawa Barat, tapi juga
menyangkut kepentingan Wangsa Sunda yang mencakup Dataran Sunda Besar (The
Great Sunda) dan Dataran Sunda Kecil (The Lesser Sunda).
Demikian pemaknaan pesan yang
bisa saya sampaikan sependek pemahaman saya yang terbatas atas fenomena Suara
Dentuman "Misterius" pada Sabtu (10/04/2020) dini hari kemarin.
Wallahu ta’ala a’lamu bish
shawab,
Kebenaran itu datangnya hanya
dari Tuhanmu Yang Maha Benar (Al-Haqqu min Rabbika, fa Laa takuunanna minal
mumtariin). Sedangkan kesalahan atau kekeliruan datangnya semata dari diri saya
pribadi, dan saya membuka pintu koreksi yang sebesar-besarnya demi untuk
kesempurnaan kajian ini.
Sarwa
Rahayu,
Jaya
Jayanti Nusantara
Ditulis
di: Bhumi Maanuwar al-Jawi
Mulai
ditulis: Sabtu Pahing (Tumpak Arga),
11
April 2020 Masehi (17 Sya'ban 1441 Hijriah).
Selesai
ditulis: Minggu Pon (Raditya Kencana),
12
April 2020 Masehi (18 Sya'ban 1441 Hijriah),
Wuku
Tambir, Tahun Wawu (Wasana) 1953 Jawa, Pranatamangsa Kasanga, Windu Sangara,
Kurup Salasiyah, Masa Kala Bendu, Zaman Kali Sangara.
Sumber : detiknews, 11.04.20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar