By: Yuswohady
April 23, 2020
Berikut ini adalah 30 prediksi saya mengenai perubahan
perilaku konsumen di kenormalan baru (New Normal) selama dan setelah
COVID-19 berlalu.
#1.
The Fall of Mobility, The Rise of Stay @ Home
Wabah praktis menghentikan
mobilitas dan memaksa orang untuk berdiam diri di rumah. “the death of
mobility“. Krisis COVID-19 membawa manusia seperti kembali ke zaman purba
dimana hidupnya hanya di gua, yaitu rumah. “Welcome stay @ home economy.”
#2.
Online-Shopping Widening+Deepening: From Wants to Needs
Pembelian online (online
shopping) mulai bergeser dari produk yang sifatnya keinginan (wants) ke produk
yang sifatnya adalah kebutuhan (needs). Belanja online konsumen melebar
(widening) dari barang-barang
non-esensial ke esensial (daily needs). Dan mendalam (deepening) dimana volume
pembeliannya makin besar.
#3.
Food Delivery: From “Indulgence” to “Utility”
Konsumen menghindari eating out
dan beralih ke layanan delivery. Selama ini konsumen memanfaatkan layanan
delivery untuk jenis makanan “indulgence” yaitu untuk pleasure dan enjoyment
(seperti: boba tea, pizza, burger, atau ayam geprek) akan bergeser ke “utility”
untuk kebutuhan rutin sehari-hari. Dari pemesanan sesekali (occasional) ke
pemesanan berulang (habitual/routine).
#4.
The Comeback of Home Cooking
Memiliki waktu cukup luang di
rumah selama pandemi memberikan kesempatan bagi milenial mengasah keahlian baru
yaitu masak. Dalam Millennials Kill Everything (2019) saya mengatakan milenial
“membunuh” home cooking karena emak-emak milenial semakin kehilangan kemampuan
memasak. Namun rupanya COVID-19 “menghidupkannya” kembali.
#5.
Frozen Food: Convenience Solution
Emak-emak milenial sudah
terlanjur tidak piawai memasak. Walaupun stay @ home menjadi momentum
comeback-nya kebiasaan memasak, namun gaya memasak milenial berbeda dengan
generasi sebelumnya. Mereka lebih suka memasak yang simple dan convenient. Maka
frozen food dan kemasan ready to cook akan menjadi pilihan.
#6.
Going Omni
Dengan matangnya online shopping
akibat COVID-19, maka brand-brand besar-menengah-kecil mulai hadir dengan
platform omni channel-nya sendiri baik via website atau e-commerce dan tentu
physical channels. Mereka tak bisa lagi cuma mengandalkan marketplace besar
yang sudah ada. Ingat, customer data is the new gold.
#7.
Subscription Model Matters
COVID-19 memaksa konsumen membeli
dan mengonsumsi secara serba online: Belanja grocery, menikmati film/musik,
membeli makanan, bekerja dan belajar, bermain games, bahkan berolahraga dan
yoga pun melalui live class secara online. Tak hanya, belanja online itu
dilakukan secara rutin tiap hari atau berkala tiap minggunya. Karena
kebutuhannya rutin dan terus menerus, model pembelian berlangganan akan lebih
cocok dan efisien. Subscription model will matter.
#8. TV Strikes Back
Dalam buku Milenial Kills
Everything (2019) kami mengatakan bahwa milenial telah membunuh televisi. Tapi,
COVID-19 telah menghidupkannya kembali, khusunya smart TV. TV memiliki
keunggulan dasar yang tak mungkin dimiliki smartphone yaitu layar besar yang
lebih ramah dilihat. Karena itu memasuki era “the death of mobility” akibat
social distancing, TV menemukan momentumnya kembali.
#9.
DIY & Self-Care @ Home
Ketika konsumen sudah terbiasa
dengan stay @ home maka mereka mulai mencoba berbagai hal baru yang
menyenangkan. Salah satunya melakukan self-care atau peremajaan diri seperti
facial, meni-pedi, spa. Maka tren do it yourself (DIY) ini dapat menjadi kenormalan
baru dan pembelian produk-produk self-care secara otomatis mengalami kenaikan.
#10.
Zoomable Workplace @ Home
Work from Home memunculkan tren
baru “zoomable workplace“ di rumah. Kalau sebelumnya populer istilah
“instagramable” maka kini ada istilah tempat kerja di rumah yang “zoomable“.
Tren ini dipicu oleh popularitas aplikasi Zoom untuk meeting virtual.
Mendekorasi ruang kerja yang eye-catching sebagai background meeting. IKEA atau
Informa bakal makin ramai pembeli. Tanpa disadari hal ini telah menjadi
kebutuhan self-esteem.
#11.
“Work-Live-Play” Balance: Well-Being Revolution
Ketika work from home (WFH) dan
flexible working hour (FWH) menjadi kenormalan baru, maka batas waktu antara
bekerja (working), mengurus keluarga dan menjalankan parenting ke anak
(living), dan menikmati leisure time (playing) menjadi kian kabur. Karena
karyawan mengatur waktunya sendiri, maka mereka bisa mengatur keseimbangan
working-living-playing dengan lebih baik. Hal ini akan meningkatkan kualitas
dan kebahagiaan hidup (well-being).
#12.
The Century of Self Distancing
Begitu wabah COVID-19 berlalu,
tak serta-merta orang berinteraksi fisik seperti sediakala. Bayang-bayang
kematian akibat virus akan terus menghantui. Self-distancing akan menjadi
kebiasaan permanen. Memakai masker, mencuci tangan setiap saat, menjaga jarak
fisik, menghindari kerumunan akan menjadi kenormalan baru. Akankah
cipika-cipiki atau jabat-tangan punah dari muka bumi?
#13.
Contact-Free Lifestyle
Self distancing yang permanen
akan melahirkan gaya hidup baru yaitu: “contact-free lifestyle“. Belanja
dilakukan secara online untuk menghindari paparan virus. Menerima barang dari
layanan antar cukup di depan pintu tanpa kontak fisik. Menghindari kerumunan
seperti nonton konser musik atau event olahraga yang syarat kontak fisik.
Menghindari olahraga yang “contact-intensive” seperti gulat, tinju, karate,
bahkan sepakbola. Jarak antar kursi di pesawat atau bioskop akan lebih lebar.
#14.
Low-Trust Society
Krisis Covid-19 juga turut
membuat kecurigaan antar warga meningkat di masyarakat. Beberapa kasus
penolakan jenazah positif COVID-19; pengusiran tenaga kesehatan karena takut
tertular; atau penolakan pemudik oleh masyarakat di kampung saat lebaran,
menciptakan kondisi yang saya sebut “low-trust society“. Social distrust di
antara anggota masyarakat akan semakin tinggi.
#15.
Constantly-Fear Customers
Di tengah krisis dan
ketidakpastian. Orang mengalami kekacauan mental healthiness sehingga menjalani
hari-hari dalam ketakutan. Takut akan krisis ekonomi, takut kehilangan
pekerjaan, takut usaha bangkrut, takut tak mampu bayar hutang bank, takut diri
dan keluarga terpapar virus, dan puncaknya takut terenggut nyawa.
#16.
Jamu Is the New Espresso
Jamu menjadi minuman yang paling
banyak dicari saat ini. Ketika para ahli mengatakan bahwa mpon-mpon yang
merupakan bahan dasar minuman jamu dapat menangkal virus COVID-19, jamu
langsung laris manis di pasaran. Wabah COVID-19 menjadikan jamu sebagai
lifestyle. Jamu is the new espresso.
#17.
Halal (Thoyyiban) Becomes Mainstream
Kita tidak tak akan pernah lupa
dengan kota Wuhan terutama pasarnya yang menjadi awal mula penyebaran virus.
Khususnya kaum muslim, bayangan muram pasar Wuhan adalah wujud dari penyiapan
dan pengolahan makanan yang tidak mengikuti prinsip-prinsip halal dan
thoyyiban. Maka COVID-19 pun membawa hikmah bagi kaum muslim, yaitu
meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya halal dan thoyyiban.
#18.
Paylater Solution
DI tengah kecemasan dan
ketidakpastian akibat COVID-19, sebisa mungkin konsumen membatasi atau menunda
pengeluaran yang bersifat cash. In time of crisis cash is king. Maka layanan
paylater yang diberikan oleh bank, perusahaan fintech, dan platform ecommerce
seperti GoPay, OVO, atau Tokopedia menjadi solusi bagi konsumen untuk berbagai
transaksi.
#19.
The Future of Traveling
Bahkan ketika ancaman virus terus
mengintai, kita tetap akan berlibur tapi dalam situasi dan kondisi yang bisa
dikontrol dan tak terpapar virus. Travellers kian sadar melakukan self social
distancing. Karena itu staycation dan wellness tour akan menjadi pilihan.
Travelling kian menjadi aktivitas individual bukan lagi grup. Niche tourism
lebih berkembang daripada mass tourism. Dan virtual tourism dengan teknologi VR
(virtual reality) akan berkembang pesat.
#20.
Virtual Experience Is the Nex Big Thing
Konser musik, event olahraga,
hingga konferensi/pameran dibatalkan di seluruh dunia. Sebagai gantinya:
virtual concert, virtual sport, virtual conference/seminar, virtual exhibition.
Ketika self distancing bakal berlangsung lama, maka virtual experience akan
menjadi sesuatu banget. Keunggulannya: “more efficent, more convenient, more
personal”.
#21.
The Emerging VirSocial
Aktivitas bersama-sama baik
nongkrong, olahraga, senam, meditasi dan yoga, hingga nge-game dilakukan secara
virtual. Kami menyebutnya “VirSocial” (virtual social). Beberapa minggu
terakhir misalnya, marak aktivitas “nongkrong” temen-teman sekantor, sekampung,
sekomunitas, atau sesama alumni SD hingga kuliah yang dilakukan via Zoom. Ini
adalah kebiasaan baru yang sebelumnya tak dikenal.
#22.
Flexible Working Hours: From “9-to-5” to “3-to-2”
Dalam buku Millennials Kill
Everything (2019) saya mengatakan, ke depan milenial “membunuh” jam kerja
“9-to-5”. Rupanya Covid-19 membunuhnya lebih cepat. Dengan work from home
(WFH), karyawan bereksperimen menjalankan pola kerja flexible working hour
(FWH). Maka jam kerja “9-to-5” nantinya akan berubah menjadi “3-to-2” yaitu jam
kerja 3 hari di kantor dan 2 hari di rumah dalam seminggu.
#23.
The Birth of Zoom Generation
Kalau generasi milenial sering
disebut “Instagram Generation” dan Gen-Z adalah “Snapchat Generation”. Maka
setelahnya, kita akan menyongsong lahirnya “Zoom Generation”. Kalau generasi
milenial dan Gen-Z tumbuh di tengah keajaiban teknologi digital (internet,
media sosial, tech startup), Generasi Zoom tumbuh di tengah dunia yang rapuh
oleh ancaman pandemi dan risiko hidup yang tinggi. Maka Zoom menjadi “the new
Google”.
#24.
Cloud Lifestyle
Kebiasaan baru work from home,
tuntutan collaborative working, dan maraknya gig economy akan mendorong
melonjaknya penggunaan platform sharing yang tersedia via cloud. Maka konsumsi
layanan cloud baik SaaS (software as a services), IaaS (infrastructure as a
services), PaaS (platform as a services) akan masuk babak baru pertumbuhan
eksponensial. Tren ini akan memunculkan cloud lifestyle dimana karyawan bisa
bekerja dengan aplikasi dan data yang tersimpan di cloud dan bisa diakses di manapun
dan kapanpun.
#25.
Telemedicine: from Visit to Virtual
Blessing in disguise, krisis
pandemi akan menjadi akselerator revolusi di dunia kesehatan yaitu telemedicine
dan virtual health. Seperti halnya remote working dan online learning, konsumen
dipaksa untuk mengadopsi gaya baru berobat yaitu secara virtual.
#26.
Online + Home-Schooling
COVID-19 memicu dua tren
sekaligus dalam proses pembelajaran. Pertama pembelajaran secara online
(“online-schooling”) dengan menggunakan platform digital. Kedua peran orang tua yang semakin besar dalam proses
pembelajaran anak (”home-schooling”). Saya menyebut dua tren ini:
“online+home-schooling”. Online+home-schooling mengubah secara mendasar wajah
dunia pendidikan ke depan.
#27.
Ibadah Virtual
COVID-19 turut mengubah perilaku
masyarakat dalam beribadah. Sholat berjamaah sementara tidak bisa dilakukan,
begitu pula kebaktian atau ibadah di gereja. Solusinya adalah melakukan ibadah
secara virtual. Untuk umat Nasrani bisa melakukan ibadah secara virtual dengan
live streaming. Bagi umat muslim sholat jamaah di masjid diganti dengan sholat
di rumah. Namun, dakwah atau pengajian masih bisa dilakukan secara virtual.
#28.
The Rise of Empathy and Solidarity
Krisis COVID-19 merupakan bencana
kemanusiaan paling dahsyat abad ini dengan korban nyawa manusia yang begitu
besar. Hikmahnya, COVID-19 telah menciptakan solidaritas dan kesetiakawanan
sosial. COVID-19 telah menciptakan masyarakat baru yang empatik, penuh cinta,
dan welas asih terhadap sesamanya. Sesuatu yang langka ketika wabah belum
mendera.
#29.
From Drone Parenting to Positive Parenting
COVID-19 bahkan mengubah pela
pengasuhan anak (parenting style). Ketika work from home memungkinkan orang tua
banyak berkumpul dengan anak, maka pola pengasuhan yang efektif adalah
“positive parenting“ dimana orang tua secara proaktif menjelaskan perilaku yang
baik dan dan mengajak anak untuk sama-sama memahami situasi sulit ini. Ini
berbeda dengan “drone parenting“ ala milenial yang membebaskan anak untuk
mengeksplorasi banyak hal sementara orang tua memantau dari jauh.
#30.
More Suffering, More Religious
Di tengah krisis COVID-19, agama
menjadi tempat bersandar mencari ketenangan sekaligus harapan. Sebagian besar
masyarakat menganggap krisis ini adalah bencana atau hukuman yang diberikan
Tuhan, bahkan dianggap tanda-tanda hari akhir akan tiba. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat religius, cobaan COVID-19 semakin mendekatkan mereka kepada
Tuhan. Karena di tengah wabah ajal bisa setiap saat datang maka mereka
memperbanyak amal-ibadah untuk bekal ke akherat.
BeKaSi, 26.04.20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar