Setiap
Sabtu, sudah menjadi menu rutin mingguan untuk melaksanakan virtual meeting Dewan
Direksi Indah Group (BoD IG) dengan seluruh pimpinan IG ato bisa juga
dibuat selektif, tergantung kebutuhan.
Materi
yang dibahas disesuaikan dan alur pembahasan bisa top down tetapi bisa juga
bottom up. Sejauh ini dikombinasikan. Pagi justru membahas presentasi kinerja 10 cabang
IL, ILI, ITG yang masuk grade A.
Dokumentasi
terlampir.
---
quote ----
Kalau
Anda semua penggemar olahraga di Indonesia, dan punya harapan atau keinginan
olahraga kita benar-benar maju, ayo kita berdiam sejenak. Berdoa bersama
sejenak. Semoga setelah 2020 ini, akan ada kesadaran baru dan perubahan
fundamental di tanah air.
Bukan,
yang harus berubah secara fundamental bukanlah atlet atau pelaku industri
olahraganya. Yang harus berubah secara fundamental adalah sikap pucuk pimpinan
federasinya, atau sikap pucuk pimpinan organisasi apa pun yang terlibat di
dunia olahraga kita.
Sudah
waktunya kita mengubur istilah “ketua umum.” Kubur dalam-dalam.
Sedalam-dalamnya sehingga tidak bisa lagi digali dan muncul lagi ke permukaan.
Sudah waktunya semua organisasi olahraga di Indonesia dikelola oleh CEO. Ya,
chief executive officer, seperti perusahaan-perusahaan dan organisasi profesional.
Tenang,
ini bukan sesuatu yang kontroversial. Kalau ingin maju, ini bukan sesuatu yang
kontroversial.
Kalau
kita melihat negara-negara maju, yang notabene olahraganya juga maju, tidak ada
organisasi olahraga yang dipimpin oleh “ketua umum.” Yang ada justru
CEO. Federasi olahraga apa pun di Amerika Serikat, pucuk pimpinannya adalah
CEO. Inggris dan Australia sama. Tidak ada “ketua umum,” yang entah bahasa
Inggrisnya apa. Yang ada ya CEO.
Jabatan CEO ini jabatan profesional. Dia bisa
ditunjuk oleh anggota federasi, atau ditunjuk lewat perwakilan anggota
federasi. Tapi ini jabatan profesional. Bukan jabatan “pejabat.”
Ketika
dia ditunjuk sebagai CEO, maka dia harus bekerja dan berfungsi seperti CEO
perusahaan. Memastikan organisasi sehat secara finansial, dengan cara-cara yang
profesional. Memastikan segala tugas dan kewajiban organisasi terselenggara
secara profesional.
Kalau
CEO bekerja seperti CEO perusahaan, maka dia harus membuat segala keputusan
berdasarkan “hidup-mati” organisasi. Dalam hal ini, bergantung pada kesehatan
finansial dan sustanaibility organisasi itu. Mungkin ada elemen-elemen politis,
tapi yang utama adalah berdasarkan penentuan “hidup-mati” organisasi dan anggota-anggotanya.
Seorang CEO tidak bertugas untuk membuat
orang-orang bahagia. Seorang CEO harus berani membuat keputusan yang membuat
banyak orang tidak senang, kalau itu demi pertimbangan “hidup-mati”
organisasinya. Toh ini jabatan yang profesional. Kalau dia tidak mampu memenuhi
tugasnya, atau memenuhi target yang ditetapkan, ya dia bisa diganti.
Bagi
seorang CEO, bukan hal penting mengirim ucapan selamat ulang tahun, ucapan
belasungkawa. Yang terpenting adalah menyampaikan
keputusan-keputusan yang berdasarkan kebutuhan dan kebaikan masa depan
organisasi dan anggota-anggotanya.
Seorang
CEO tahu kapan harus membuat keputusan-keputusan drastis. Yang mungkin
menyakitkan dan membuat orang tidak senang. Misalnya, memutuskan untuk
menghentikan sebuah kompetisi di tengah jalan, kalau itu demi kebaikan jangka
panjang organisasi dan seluruh anggotanya.
Seorang
CEO akan bisa membedakan berbagai varian dari “rugi” dan apa itu “cut loss.”
Pengusaha pasti tahu, kadang lebih baik menghentikan kerugian sampai titik tertentu,
asalkan bisa menata lagi untuk ke depan. Daripada terus menumpuk kerugian dan
mengajak seluruh anggotanya untuk ikut rugi sama-sama berkelanjutan.
Seorang
CEO akan tahu, bahwa kepastian jadwal, kepastian regulasi, dan berbagai
kepastian adalah kunci untuk kemajuan. Dan CEO tahu itu bukan sekadar dalam
tahap tataran. Melainkan sampai tahap praktis pelaksanaan.
Seorang
CEO tidak akan khawatir dengan image pribadinya di depan publik. Karena ini
jabatan profesional. Bukan jabatan untuk menuju jabatan yang lain.
Tentu
saja, jauh lebih mudah bagi saya untuk menulis ini daripada penerapannya nanti.
Apalagi untuk negara seperti di Indonesia. Di mana seorang ketua umum nasional
seringkali harus dipilih oleh “ketua umum-ketua umum” lain di level provinsi
dan/atau kota.
Kalau
di level terendahnya saja sudah bukan jabatan profesional, bagaimana mereka
bisa tahu bagaimana memilih CEO level nasional?
Dan
jangan lupa, untuk memilih CEO level nasional itu syaratnya harus jelas. Kalau
di negara maju, CEO federasi biasanya sudah punya pengalaman panjang MENGELOLA
PERUSAHAAN. Khususnya perusahaan yang terkait dunia olahraga. Tidak harus
olahraga yang sama, tapi olahraga.
Alangkah
mengerikannya yang terjadi di Indonesia selama ini. Entah berapa puluh kali,
atau berapa ratus kali, terpilih “ketua umum” yang sebenarnya tidak mengerti
olahraganya. Lebih parah lagi, kadang juga tidak mengerti bagaimana mengelola
perusahaan, karena background-nya dari dunia politik atau sekitarnya.
Tidak
jarang, ketua umum-ketua umum itu mengaku terus terang kalau mereka tidak tahu
dunia olahraga yang dia pimpin!
Entah
berapa kali sudah kita mentolerir yang seperti ini. Kita sering mencoba
menghibur diri. Misalnya dengan berharap bahwa walau ketua umum itu mungkin
memang tidak mengerti, tapi dia mau belajar dan kemudian bisa berbuat baik
untuk olahraga itu.
Kalau
kita memilih CEO, ini pasti tidak terjadi. Karena seorang CEO harus tahu betul
dunianya. Seseorang di jabatan tertinggi tidak boleh lagi “belajar.” Dia sudah
harus bisa mengaplikasikan visi dan langsung berbuat baik untuk organisasi,
anggota, dan olahraganya.
Jabatan
tertinggi kok belajar…
Mungkin,
karena begitu mengakarnya sudah pola pengelolaan olahraga di Indonesia, banyak
pembaca yang tidak paham dengan maksud saya di atas. Terus terang, mengenai
ketua umum atau CEO ini sebenarnya juga tidak langsung tercetus dari kepala
saya sendiri.
Dulu,
saya pernah ditawari seorang pengusaha besar untuk mengelola sebuah federasi
olahraga. Kebetulan saya pernah aktif di olahraga itu, dan waktu kecil pernah
tergabung dalam klubnya selama beberapa tahun.
Ketika
saya tanya kenapa dia meminta saya, dia menjawab kalau olahraganya butuh CEO,
bukan ketua umum. Dia bilang, uang di olahraganya bukan masalah. Yang masalah
adalah mencari orang yang bisa mengelola uang itu, menggunakannya secara
strategis sehingga olahraganya jadi lebih besar lagi.
Bahkan
bisa mengelola uang itu untuk menambah lagi uang yang masuk ke olahraga itu.
Bukan sekadar ketua umum yang bingung cari uang, atau bahkan minta-minta uang.
Dan sekaya apa pun ketua umum itu, tidak mungkin dia “menyumbangkan” seluruh
uangnya untuk olahraga itu.
Waktu
itu, saya menolak tawaran tersebut. Bukan karena tidak mau atau merasa tidak
mampu. Melainkan pada momen yang sama, saya baru saja setuju menyelamatkan liga
basket tertinggi di Indonesia waktu itu. Saya ingin fokus pada hal itu.
Anyway,
kalau Anda memahami maksud tulisan saya, mari kita semua berdoa. Semoga setelah
2020, ada kesadaran di mana lebih banyak orang memilih CEO, bukan ketua umum.
Dari level terendah sampai nasional.
Percuma
penggemar olahraga di Indonesia teriak-teriak supaya klub-klub jadi
profesional. Percuma semua pihak berteriak supaya olahraga di Indonesia ini
jadi industri beneran. Kalau itu semua terhalang oleh ketua umum-ketua umum
yang tidak mengerti apa itu industri olahraga, apa itu jabatan profesional, dan
yang terparah: Apa itu olahraga yang dia pimpin. (Azrul Ananda)
Sumber
: Radar, 25.11.20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar