Sekalipun tidak ada maksud serius dan kesungguhan di
balik kata “ciyus”, “cungguh” dan “miapah” yang sedang populer saat ini, tidak
ada salahnya kita mencoba membahas mereka dengan serius.
Tapi sebelumnya, saya akan memberi ringkasan terlebih
dahulu terutama bagi mereka yang tidak mengetahui tren bahasa gaul terkini.
Belakangan ini, terutama di media sosial, sedang marak penggunaan/pengucapan
kata yang berupaya terdengar imut dan lucu — seperti diucapkan balita yang
masih cadel.
Sebagai contoh, “sungguh” diucapkan/dituliskan jadi
“cungguh”. “Serius” jadi “ciyus”. Dan “demi apa” menjadi “miapah”.
Agak sulit untuk merumuskan aturan dari gejala bahasa ini
(yang kerap dikategorikan ke dalam bahasa alay edisi terbaru). Tidak ada
prinsip mutlak, meski ada pola yang terlacak. Layaknya balita cadel, huruf S
akan dilafalkan menjadi C (“sungguh jadi “cungguh”). Lalu R akan diganti jadi L
atau Y (“rahasia” menjadi “lahacia”).
Lalu ada huruf-huruf yang direduksi. Terima kasih?
Maacih. Masak sih? Macacih. Enelan.
Tetapi, kapan substitusi dan reduksi tersebut berlaku,
sepenuhnya diserahkan kepada insting pengguna.
Gejala bahasa alay terbaru ini agak berbeda dengan bahasa
alay edisi sebelumnya yang cenderung merepotkan pembacanya (bahkan pengguna
sendiri). Kalau dulu, bahasa alay lebih menekankan pada permainan
huruf-angka-huruf-angka serta penggunaan huruf yang jarang digunakan.
(Sebagai contoh, “sayang” menjadi “Ch4y4Nk” dan “kamu mau
apa” menjadi “Qm mW 4pH”.)
Pola bahasa alay versi lama juga hanya memungkinkan untuk
diterapkan pada tataran tulisan. Pada tataran lisan, ia kehilangan pesona dan
praktiknya. Ini berbeda dengan pola bahasa alayisme (dan cadelisme) dkk yang,
walau beredar di media sosial yang didominasi tulisan, justru menjadi berarti
ketika diejawantahkan ke tataran lisan. Kesan imut dan lucu — ya, saya tahu,
tidak semua menganggap ini lucu — bisa terwujud karena asosiasi kita terhadap
anak kecil polos-tembam yang cadel dan belum fasih bicara.
Ada lagi satu perbedaan yang paling kentara dari kedua
gejala bahasa tersebut. Jika yang terdahulu banyak digunakan untuk
sungguh-sungguh mengatakan apa yang ia sampaikan, yang terbaru banyak digunakan
untuk sungguh-sungguh bercanda.
“Ciyus”, misalnya, membuat “serius” kehilangan
kredibilitas. Pada akhirnya, “ciyus” tidak akan dipakai untuk menggantikan
“serius” dalam maksud sebenarnya. Lalu bagaimana kita harus menyikapinya?
Setiap kata, seusil apa pun asal-usulnya, mempunyai hak
untuk hidup. Namun, perjuangan setiap kata untuk dapat hidup lama bukan perkara
mudah. Samsudin Berlian, seorang pemerhati makna kata, pernah menulis dalam
rubrik bahasa Kompas (8/11/03) bahwa “dalam bahasa yang hidup, kata-kata lahir
dan mati seiring dengan perkembangan dunia pemakainya.”
Jika betul begitu, barangkali kita tidak perlu melempar
penemu kata “ciyus” dkk dengan sendal jepit. Apabila kata-kata tersebut sudah
membosankan dan telah kehilangan kelucuannya, toh mereka akan mati dengan
sendirinya karena tidak digunakan lagi. Ciyus? Miapah? Cungguh!
Sumber : Newsroom Blog, 24.10.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar