Oleh:
Rhenald Kasali
KOMPAS.com
- Setelah Amerika Serikat memilih Trump,
majalah The Economist mencatat:
“Bangsa ini telah memberikan suaranya untuk a game changing disruption.”
Old
game is over. Seperti kisah tentang akhir zaman, banyak keganjilan dan korban.
Ganjil karena mereka memilih Trump, dan ganjil karena perusahaan tanpa aset -
tanpa keuntungan valuasinya lebih besar dari perusahaan yang aset dan profitnya
besar.
Disruption
kreatif dan mematikan incumbent yang takut menjalani perubahan.
Peradapan Trump
Tahun
depan, menurut majalah berpegaruh itu, dunia akan memperingati banyak peristiwa
penting: 50 tahun Asean, 100 tahun pengambilalihan
Rusia oleh kaum Bolshevik, 500 tahun peringatan reformasi Protestan (Martin
Luther), dan tentu saja awal
pemerintahan Trump.
Setelah
Brexit, kecuali Kanada, Barat akan semakin protektif. Trump, kita tahu akan
keluar dari kesepakatan Trans-Pacific
yang membuat banyak negara pengekspor jungkir balik. Apalagi Trump ingin
investornya itu “pulang kampung."
Di
lain pihak, banyak negara sudah mempunyai platform yang lebih peaceful terhadap
sharing economy sehingga memiliki perizinan terpisah dari bisnis konvensional
kendati sektor usahanya sama dengan yang sudah ada. Polanya mengacu pada aturan
mengenai bisnis telefon, yang memisahkan perizinan kabel dengan nirkabel. Cara
itu terbukti ampuh menyelamatkan AT&T
di Amerika, juga PT Telkom di
Indonesia.
Akselerasi
juga jadi penentu survival di kalangan incumbent dan birokrasi. Jangan kaget
bila buku baru Thomas Friedman diberi
judul: Thank You for Being Late.
Birokrasi
yang masih rumit, pemimpin yang selalu bicara mitigasi resiko (seakan lebih
penting dari opportunity), membiarkan industri highly regulated, serba pungutan
(sekalipun resmi dan masuk kas negara), hanya menghasilkan rigidity (kekakuan).
Sayang bila politisi kita ingin membongkar kembali UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sedang menuju pada competence-based
leadership.
Internal battle
Pelajaran
dari survivability incumbents dalam industri jasa operastor telepon di masa
lalu menunjukkan pentingnya menerbitkan perijinan dan regulasi terpisah antara
keduanya.
Telkom
selamat dan menjadi perusahaan BUMN penyumbang dividen yang besar bagi negara
karena bisnis selulernya dikelola perusahaan terpisah (PT Telkomsel).
Sebaliknya, pertarungan terjadi dalam industri jasa taksi--dan kelak pada
industri perbankan, asuransi,
logistik
dan pariwisata--karena para pelaku disruption yang menggunakan platform sharing
economy “dipaksa” berkegiatan dengan regulasi yang lama yang dilakukan pelaku
usaha konvensional.
Ketika
perizinan dan regulasi diperlakukan sama, yang akan menjadi korban justru
incumbent, bukan pelaku usaha baru, karena hukum alamiah menandaskan
pertempuran internal yang mematikan.
Internal
battle seperti itu pernah terjadi di Kodak saat mereka menemukan teknologi
kamera digital (1975). Inovasi itu akhirnya diambil Sony dan para pembuat
telepon genggam, karena di dalam Kodak, terjadi battle tiada akhir.
Orang-orang
lama selalu khawatir produk baru atau business model baru selalu akan
menganibal pekerjaan dan bisnis mereka. Maka mereka kerap melempar gunjingan
dan isu-isu negatif agar perusahaan mengurungkan niatnya mengembangkan bisnis
baru yang belum menghasilkan keuntungan dalam janga pendek.
Sementara
meski turun, bisnis lama masih untung. Mereka memanipulasi mindset top leader
bahwa usaha/produk lama itulah yang harus diperkuat, di reinvestasi, di
iklankan dan seterusnya. Mereka lalu memerangkap
RVP perusahaan (Resources, Process dan Values) ke dalam mindset lama
mereka.
Internal
battle terbukti mematikan Kodak. Itu sebabnya disruptive innovation tak
datangdari dalam incumbent. Lemari es tak diciptakan oleh para produsen es
batu. Cellular phone tak dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan operator
telekomunikasi, demikian juga toko buku online dan taksi online. Jawabnya
karena internal battle dan mindset lama yang mematikan.
Supply-Demand Berubah
Teori
Supply-Demand yang dulu kita pelajari juga akan berubah. Teori lama ini bahkan
telah menghambat penemu teori-teori baru dalam membaca realita.
Christensen
yang memperkenalkan teori disruptive innovation misalnya, gagal melihat bahwa
iPhone adalah karya disruption. Pada tahun 2007 ia memprediksi iPhone akan
gagal melawan Nokia dan Blackbery karena baterainya lemah dan security-nya tak
bisa mengimbangi Blackberry.
Christensen
baru mengakui iPhone beberapa tahun kemudian setelah menyaksikan kekuatan Apps
yang dikembangkan para kolaborator indeprnden dan diakomodir Apple. Apps yang
berada dalam iPhone menjadi sumber penentu disruption yang justru amat kuat. Ia
mengubah pandangan kita tentang supply dalam theory of the firm yang kita kenal
sebagai single producer.
Tahun
lalu Christensen kembali membuat heboh ketika mengatakan Uber bukanlah
disruptive innovation. Benar bahwa Uber tidak mulai dari tarif yang murah.
Teori ini memprediksi disruption akan terjadi kalau pendatang baru menciptakan
pasar baru melalui teknologi (inovasi), atau menbidik segmen Low-end melalui
produk yang simple, accessible dan affordable.
Uber
pada tahap awal tidak masuk dalam frame itu. Seperti Iphone, pernah tarifnya
lebih mahal dari incumbent. Uber hanya mengumpulkan orang-orang yang mau cari
uang tambahan dari mobilnya yang sedang menganggur untuk menarik sewa.
Saat
jumlahnya masih terbatas, Uber datangnya lebih lama dari taksi biasa, sehingga
hanya mendapatkan penumpang konvensional yang sekedar ingin coba-coba.
Tetapi
kini potensi menghancurkan bisnis incumbent Uber begitu besar. Ini karena
business model sharing economy yang didukung teknologi aplikasi. Para kritisi
mengatakan Christensen dibutakan konsep lama mata rantai nilai supply-demand
yang kini tak lagi tunggal seperti yang kita lihat dalam owning economy.
Dulu,
mindsetnya adalah beli, miliki, kuasai, lengkapi sendiri, slow but sure, dan
tanggung akibatnya kalau aset menganggur. Mindsetnya birokratik, beli dan
kuasai, mengerem dengan dalih mitigasi resiko atau compliance.
Ini
diingatkan oleh filosofer Charles Handy dengan metafora begini. Cara berpikir
(mindset) kita dibentuk oleh ruangan di rumah. Ada ruang tamu milik kita
bersama, saya dan orang lain melihat hal yang sama. Yang kedua, ruang privat,
hanya saya saja yang mengetahuinya dan saya sangat memahaminya. Lalu ada ruang
misterius yang, baik anda maupun saya sama-sama tidak tahu.
Tapi
yang berbahaya adalah ruang keempat yang hanya diketahui orang lain, tapi kita
tidak tahu dan tak menyadari itu ada. Akibatnya kita hanya menyangkalnya saja.
Itulah
bekal perubahan yang perlu anda renungkan dan kelak akan anda temui dalam buku
baru saya yang akan terbit tahun 2017: Disruption Theory dalam Peradaban Uber
dan Gojek. Selamat Menjalankan disruption. Your Mindset determines your
destiny.
Sumber : Kompas, 13.12.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar