Semula Selandia Baru bersama Cile, Singapura, dan Brunei menyepakati Perjanjian Perdagangan Bebas dalam
kelompok yang diberi nama Trans-Pacific
Strategic Economic Partnership 2005.
Presiden Barack Obama (2010) merombak Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) dengan
menggabungkannya bersama Australia,
Peru, Vietnam, Malaysia, dan Amerika
Serikat (AS) menjadi Trans-Pacific
Partnership (TPP, Kemitraan Trans-Pasifik).
Ketika di
tahun 2011 Kanada, Meksiko, dan Jepang ingin masuk TPP, mereka
diterima sebagai ”latecomers” dengan
syarat tidak mengubah kesepakatan yang sudah dicapai, dan tidak punya hak veto
terhadap hal-hal yang sudah dan akan disepakati sembilan anggota asli TPP-9. Syarat kedua adalah pengondisian
yang berlaku dalam kesepakatan bilateral antarnegara sehingga membatasi ”kekuatan berunding” dalam hal-hal yang
ditangani TPP.
Pertarungan AS-RRT
Dengan
beralihnya TPSEP menjadi TPP, semakin menonjollah peran AS. TPP dinilai
memberikan perhatian kecil pada bidang pembangunan. Syarat yang berlaku bagi
negara berkembang tidak dibedakan dengan syarat bagi negara maju. TPP bukanlah
suatu kesepakatan regional, melainkan lebih merupakan”kumpulan kesepakatan
bilateral”, dengan implikasi bahwa konsesi tarif ditentukan secara bilateral
tanpa kesamaan jadwal tarif tunggal.
TPP tidak
menjadikan Asia sebagai pusat pengembangan pembangunan. Beberapa anggota ASEAN
sudah menjadi peserta penuh TPP, seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan
Vietnam. Ciri-ciri menonjol dari negara-negara ini adalah terbatas pasar dalam
negerinya sehingga memerlukan pasar negara maju anggota TPP.
Di samping
perkembangan TPP yang dipimpin AS, setelah krisis finansial melanda ASEAN
(1997/1998) tampil ke muka Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai pengambil prakarsa bersama ASEAN, Jepang, dan Korea Selatan membentuk
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), setelah melewati proses
negosiasi selama 2000-2011. Yang berhak menjadi anggota RCEP adalah negara yang
sudah punya ”kesepakatan perdagangan bebas” dengan ASEAN. Karena tak punya
kesepakatan ini, AS tertutup penyertaannya dalam RCEP.
Oleh karena
Jepang masih mengalami kesulitan ekonomi dalam negeri, Jepang memilih untuk
berada di kedua lembaga: TPP dan RCEP.
Perkembangan
TPP dan RCEP tidak terlepas dari pertarungan kepentingan AS dan RRT. Bedanya,
RCEP memberi penekanan lebih besar pada masalah pembangunan, sedangkan TPP
dikendalikan oleh AS dan mencakup kawasan Pasifik. Anggota baru TPP tidak
memperoleh hak yang sama dengan anggota lama. Dan, yang diutamakan, TPP lebih
pada segi-segi struktural dan institusional mendorong liberalisasi ekonomi.
Yang menjadi
kesulitan membahas TPP adalah bahwa negosiasi tentang dan hasilnya tidak
transparan dan sifatnya tertutup. Yang banyak dilibatkan dalam negosiasi TPP
adalah pengusaha besar AS, sedangkan buruh, pengusaha kecil, LSM, dan
cendekiawan tidak dilibatkan. Bahkan, Kongres dan Senat AS juga tidak
dilibatkan sehingga 130 anggota Kongres mengirim surat protes kepada US Trade Representative, Ron Kirk.
TPP dianggap
tidak memperjuangkan ”perdagangan bebas”, tetapi kepentingan ”lobi bisnis yang
kuat”, mencakup kepentingan produsen peternakan, pertanian, industri gula,
rokok, farmasi, dan lain-lain. Informasi tentang perkembangan negosiasi TPP
kita peroleh dari internet dan tulisan para cendekiawan seperti Joseph Stiglitz dan Rick Rowden.
Asumsi yang
hidup dalam TPP bahwa ”pasar bekerja lebih efisien daripada negara”, karena itu
intervensi negara yang menghambat kebebasan pasar harus dipangkas. Atas dasar
ini, TPP menghendaki pemotongan kebijakan perdagangan yang bersifat protektif,
seperti sistem kuota, pengenaan pajak ekspor atas bahan mentah, pengenaan tarif
dan lain-lain yang serupa.
Negara maju
dalam negosiasi TPP juga menuntut agar perusahaan asing diperlakukan sama
seperti perusahaan domestik, antara lain bisa ikut bersaing dalam lelang dan
kontrak pembelian oleh pemerintah nasional.
Untuk
mendorong transfer teknologi dari investor asing dan menggalakkan produksi
dalam negeri, pemerintah biasanya menerapkan ketentuan ”konten lokal” dan
kewajiban membeli barang dan jasa lokal. Ketentuan yang bersifat diskriminatif
terhadap perusahaan asing seperti ini dilarang dalam TPP.
TPP juga
menerapkan mekanisme Investor-to-State-Dispute-Settlement”
(ISDS) dalam kesepakatan investasi. Jika pemerintah mengeluarkan peraturan
sehingga perusahaan investor kehilangan potensi laba, ia berhak menuntut ganti
rugi. Perusahaan rokok Philip Morris memanfaatkan ketentuan ISDS dan menggugat
Pemerintah Uruguay yang telah mengeluarkan peraturan kesehatan yang mengatur
iklan rokok.
Akibat aturan
tersebut, penjualan rokok berkurang dari jumlah yang seharusnya sehingga
perusahaan merasa ”kehilangan laba yang seharusnya bisa dinikmati perusahaan
rokok, yang kemudian diberi hak menggugat”.
Sungguhpun Dana Moneter Internasional pada tahun 2012 sepakatmemungkinkan kontrol modal
oleh pemerintah, TPP tetap menolak karena ”deregulasi finansial” dianggap lebih
menguntungkan ekonomi.
Kalangan
kesehatan menolak keras TPP karena memperluas ketentuan paten dan hak cipta,
yang mencakup produk final dan juga komponen produk final. Dengan menerapkan
”hak milik intelektual” secara lebih ketat di farmasi, obat generik yang lebih
murah tidak mungkin diedarkan lagi.
Sama, tapi tak seimbang
TPP juga
memuat ketentuan yang menaikkan biaya bagi negara berkembang karena hambatan
mendapatkan teknologi manufaktur, termasuk ”reverse-engineering”. Negara
anggota TPP juga diwajibkan membubarkan perusahaan-perusahaan badan usaha milik
negara (BUMN) karena dianggap tidak adil dalam sistem persaingan dengan
perusahaan swasta.
Dari berbagai
contoh ketentuan TPP ini, terlihat sekali menonjol semangat bahwa perdagangan
dan investasi bisa berkembang di negara apabila intervensi pemerintah
dihilangkan dan dunia usaha diberi kebebasan sepenuhnya untuk menanggapi sinyal
ekonomi pasar.
Jika bocoran informasi tentang TPP ini benar, tampaklah bahwa
negara berkembang dipersamakan dengan negara maju dalam persaingan di pasar
bebas. Kiranya samalah halnya dengan menghadapkan juara tinju nasional kita,
Ellyas Pical, bertarung dengan juara tinju AS, Muhammad Ali, di gelanggang AS.
Indonesia
adalah negara berpenduduk dan berpotensi pembangunan yang besar. Yang kita
perlukan adalah bekerja keras dengan keyakinan penuh bahwa Indonesia sebagai
pasar besar tidak untuk dijual: ”not for sale!”
Emil Salim, Dosen Pascasarjana UI; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar