Persoalan remaja, terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, terus terjadi di sekitar kita. Seakan tak terbendung, kasus-kasus perilaku seks pranikah, kehamilan tak diinginkan, aborsi, dan angka kematian ibu terus bermunculan.
Pada 2007, sebuah survei terhadap kesehatan reproduksi remaja Indonesia mengungkapkan, perilaku seks sebelum menikah bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia.
Hasil penelitian Kementerian Kesehatan 2009 di Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya menunjukkan, 35,9 persen remaja memiliki teman yang sudah berhubungan seks sebelum menikah.
Hasil itu sejalan dengan kondisi kesehatan reproduksi remaja berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 yang menyebutkan, 11 persen pria yang tak tamat SD dan 9 persen pria dengan pendidikan SMA ke atas menyetujui hubungan seks pranikah.
Itu baru soal setuju atau tidak. Dalam praktiknya, pria berpendidikan SMA ke atas cenderung pernah melakukan seks dibandingkan dengan pria yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
Bagaimana mencegah remaja tertular infeksi menular seksual dan HIV/AIDS? Ada dua upaya besar. Yang pertama, dengan memberikan pendidikan seks kepada remaja.
Harapannya, remaja semakin paham mengenai alat reproduksi, seksualitas dan proses reproduksi. Mereka diharapkan dapat menunda seks sampai siap secara mental dan fisik.
Tetapi jika tidak sanggup menunda, para remaja bisa melakukan seks dengan sehat dan bertanggungjawab. Upaya model ini terus dilakukan oleh berbagai pihak misalnya melalui integrasi materi kesehatan reproduksi dengan pendidikan agama, biologi atau pendidikan kesehatan.
Upaya lain juga dilakukan melalui jalur ekstra kulikuler misalnya melalui kegiatan pramuka. Namun demikian, upaya-upaya tersebut belum berkelanjutan dan menyeluruh. Sehingga, ada usul untuk menjadikan pendidikan seks sebagai mata pelajaran tersendiri di sekolah. Namun demikian, usul ini masih membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dan tentunya kemauan politik dari pemerintah.
Usaha yang kedua adalah merespon persoalan kesehatan reproduksi remaja yang semakin marak melalui pendekatan agama. Sejumlah guru pendidikan agama Islam di Jember, misalnya, mendorong penambahan jam mata pelajaran agama dari dua jam per minggu menjadi empat jam.
Tetapi apakah dengan menambah jam agama, persoalan remaja selesai? Tentu tidak mudah menjawabnya.
Pendidikan yang terintegrasi antara di sekolah dan bimbingan orangtua dalam keluarga, antara pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan moral dilakukan secara bersamaan. Bila persoalan kesehatan reproduksi remaja tidak ditempatkan sebagai persoalan mendesak (yang perlu ditangani serius dan berkesinambungan) maka bukan tidak mungkin semakin banyak remaja yang menjadi korban.
Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari program penguatan akses kesehatan reproduksi dan seksual untuk remaja yang didukung oleh Kedutaan Norwegia dan Hivos yang melibatkan organisasi Rahima, PKBI, Pamflet dan Pusat Studi Gender dan Seksualitas UI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar