Ada masanya dalam sejarah Indonesia, kuda merupakan sarana pengangkut massal yang sangat penting, baik untuk tujuan sipil maupun militer.
Menurut kitab Babad Tanah Jawi, ketika Raden Patah pulang dari menghadap Prabu Brawijaya dari Majapahit, ia membawa selaksa abdi, juga gajah, kuda, gerbong, dan pedati. Semuanya hadiah dari Brawijaya.
Sekarang pun kuda masih menjadi sarana pengangkut demikian. Bahkan, di daerah-daerah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat, perannya boleh dikatakan sangat menonjol. Itu sebabnya, empat istilah gerak maju kuda mantap letaknya dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Pada pokoknya hanya ada empat macam istilah gerak maju kuda: menderap, mendua, meligas, dan mencongklang.
Sekarang marilah kita mencoba meneliti apa yang dikatakan Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Pertama, Cetakan Keempat (1990) untuk mengetahui seberapa jelas keterangannya.
Pertama, derap berarti (1) lari cepat (tentang kuda dan sebagainya) dan (2) kecepatan langkah; laju gerak seperti dalam contoh ”Rakyat tidak apatis terhadap derap pembangunan yang tengah berjalan sekarang”. Tidak diberikan bentuk kata jadian menderap seperti dalam contoh ”Kita lihat kuda-kuda menderap dari utara”. Padahal, kata kerja ini cukup laku dalam bahasa Indonesia untuk melukiskan lari cepat kuda.
Kedua, dua tidak perlu di sini diberikan keterangan karena di satu pihak sudah jelas, dan di pihak lain memerlukan terlalu banyak penjelasan. Adapun istilah mendua kembali tidak diberikan.
Padahal, dalam Kamus Bahasa Indonesia I (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983) istilah ini justru diberi arti ”menderap (berlari tentang kuda)” dengan contoh ”Kudanya mendua hingga tidak terkejar lagi”. Apakah menderap dengan demikian sama dengan mendua? Itulah juga yang ingin kita ketahui.
Namun, Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia II, memberikan kepada istilah ini arti melangkah dua-dua. Karena kaki kuda itu empat, menjadi pertanyaan bagaimana wujud gerakan tersebut.
Ketiga, ligas, dengan turunan meligas yang berarti berlari dengan kedua belah kaki kanan lalu kedua belah kaki kiri (tentang kuda, katak, dan sebagainya). Keterangan ini menimbulkan pertanyaan: kedua belah kaki kanan serentak atau tidak, dan baru kedua belah kaki kiri, juga serentak atau tidak?
Pertanyaan lain yang agak menyeleweng adalah apakah benar katak berlari dengan kedua belah kaki kanan lalu kedua belah kaki kiri?
Keempat, congklang, dengan kata jadian mencongklang yang bermakna berlari kencang (tentang kuda) dan contoh pemakaian: ”Sementara kuda mencongklang kencang, masing-masing pemburu menarik busur yang besar dan kuat dari selongsong di punggung mereka”.
Di sini yang menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana gerak kakinya. Kalau dikatakan berlari kencang, apakah itu tidak sama dengan menderap dan mendua di atas? Kembali timbul pertanyaan menyeleweng, mengapa kalau istilah mencongklang berarti berlari kencang, dalam contoh yang diberikan dikatakan ”sementara kuda mencongklang kencang?” Apa ini bukan tautologi?
Bagaimanapun penjelasan yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenai keempat istilah gerak maju pokok kuda itu belum memadai. Mudah-mudahan di antara bangsa penunggang kuda yang tangguh di masa lalu ini ada yang bersedia menyumbangkan bagiannya.
Oleh : Koesalah Soebagyo Toer - Penerjemah
Sumber : Kompas, 15.01.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar