Historia –
15/07/14
PRESIDEN
Soeharto dalam suatu kesempatan pernah mengatakan kalau korupsi itu persoalan
ekonomi. Artinya tingkat penghasilan seseorang menjadi faktor pemicu apakah dia
berpotensi korupsi atau tidak. Semakin rendah penghasilan, semakin tinggi
potensi melakukan korupsi. Pernyataan Soeharto bahwa penyebab korupsi itu
adalah faktor ekonomi dikemukakan saat mengomentari kasus megakorupsi Pertamina
yang menyeret keterlibatan direkturnya, Ibnu Sutowo.
Memang uang
bukan segala-galanya kendati banyak orang bilang segala-galanya butuh uang.
Segala-galanya butuh uang sampai banyak orang menempuh segala cara untuk
mendapat uang. Itulah hukum besi kehidupan bila terlalu keseringan mengikuti
musik keroncong yang mengalun dari dalam lambung. Memang kenyataan selalu
kejam, tergantung bagaimana kita menyikapi kekejaman itu.
Ngomong-ngomong
soal sikap-menyikapi apakah benar apa yang dikatakan oleh Soeharto itu? Apakah
benar orang yang tinggi penghasilannya, yang secara ekonomi mapan, mampu
mengendalikan diri untuk tidak menempuh segala jalan meraih kekayaan? Tentu
saja jawabannya tidak. Karena perkara ngentitduit itu bukan soal kaya atau
miskin tapi soal mentalitas. Kurang besar bagaimana gaji Gayus Tambunan, Rp12
juta per bulan, usia masih 30-an tahun, menghidupi keluarga kecil.
Belum lagi
kasus Nazaruddin tuntas, datang lagi berita pada 25 Agustus 2011 mengenai
ditangkapnya tiga pejabat Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
ketahuan menerima fee atas pencairan dana APBN. Istilah fee biasanya digunakan
dalam soal-soal yang lebih beradab, misalnya untuk membayar honor penulis,
membayar honor desainer atau pekerjaan profesional dan kreatif lainnya, bukan
untuk urusan korup-mengkorup apalagi sogok-menyogok.
Padahal bisa
jadi uang fee yang baru saja diterima di dalam kardus durian monthong itu untuk
dibagi-bagi sekadar THR (Tunjangan Hari Raya) kepada sanak keluarga atau kolega
sekerja lainnya. Atau jangan-jangan riwayat munculnya THR, yang juga
kontroversial itu, membawa tulah sampai sekarang? Kenapa kontroversial? Kapan
istilah THR itu muncul belum bisa diketahui pasti tapi uang tunjangan yang
diberikan saben akhir bulan puasa itu dimulai kali pertama pada era kabinet
Soekiman Wirjosandjojo dari partai Masyumi.
Kabinet
tersebut dilantik oleh Presiden Sukarno pada April 1951. Salah satu program
kerja kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan pamong pradja (kini,
Pegawai Negeri Sipil). Menurut Saiful Hakam, peneliti muda LIPI, kabinet
Soekiman membayarkan tunjangan kepada pegawai di akhir bulan Ramadhan itu
sebesar Rp125 (waktu itu setara dengan US$11, sekarang setara Rp1.100.000)
hingga Rp200 (US$17,5, sekarang setara Rp1.750.000). “Bukan hanya itu,
mula-mula kabinet ini juga memberikan tunjangan beras setiap bulannya,” kata
Hakam.
Tak pelak
lagi soal tunjangan itu mendapat respons negatif dari kaum buruh. Kaum buruh
merasadikentutin. Mereka yang bejibaku kerja keras memeras keringat bakal hidup
anak-bini di rumah tak dapat perhatian apa pun dari pemerintah. Itu sebabnya
pada 13 Februari 1952, buruh mogok, menuntut minta tunjangan dari pemerintah.
Tapi bukan pemerintah Republik Indonesia namanya kalau mengikuti keinginan
buruh. Tentara pun turun tangan supaya buruh tutup mulut. Bungkam.
Terus, kenapa
bisa THR menjadi kebijakan kabinet Soekiman dari Masyumi itu. Bukan rahasia
lagi kalau sebagian besar pamong pradja bin pegawai negeri itu terdiri dari
para priayi, menak, kaum ningrat turunan raden-raden zaman kumpeni yang
kebanyakan berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Dus, ceritanya
Soekiman mau ambil hati pegawai dengan memberikan mereka tunjangan di akhir
bulan puasa dengan harapan mereka mendukung kabinet yang dipimpinnya. Masuk di
akal juga kalau para pegawai itu, yang katanya gajinya kecil itu, dapat sedikit
dana tambahan buat menghadapi lebaran. Nah, sejak itulah THR jadi anggaran
rutin di pemerintahan bahkan sekarang kalau ada perusahaan yang mangkir tak
bayar THR karyawannya bisa kena tegur pemerintah, bahkan kena pinalti.
Kalau mau
dibilang wajar, ya wajar juga pegawai yang bergaji kecil itu dapat tunjangan
hari raya. Apalagi kalau kaum buruh juga kecipratan tunjangan. Yang tidak wajar
itu adalah memasukan uang ke dalam kardus duren. Seperti kata orangtua kita,
meletakan sesuatu itu harus pada tempatnya. Uang di kardus duren, sudah jelas
salah tempat. Sama salahnya memakai kolor pergi ke mesjid atau bawa raket tenis
buat berenang di kolam.
Memang
perkara uang selalu bikin runyam. Tak dulu tidak sekarang. Bedanya kalau
pemimpin zaman dulu masih agak tebal imannya. Haji Agus Salim cuek saja memakai
kemeja tambalan padahal dia Menteri Muda Luar Negeri. Dr Leimena cuma punya dua
potong kemeja sementara Bung Hatta tak pernah mampu beli sepatu merk Bally
sampai akhir hayatnya. Malah bisa jadi mereka tak pernah dapat jatah THR,
seperti zaman sekarang. Tapi dalam catatan sejarah, sebelangsak apa pun hidup
mereka, tak pernah ditemukan fakta melakukan korupsi.
Ini sekaligus mematahkan
tesis Soeharto bahwa orang korup karena hidup susah. Padahal hidup mesu budi
alias asketik itu soal pilihan. Apalagi jadi pemimpin. Menderita itu
keniscayaan, seperti kata Mr. Kasman Singodimedjo, Een leidersweg is een
lijdensweg, leiden is lijden. Jalan seorang pemimpin adalah jalan penderitaan,
memimpin adalah menderita.
Tapi sekarang
siapa yang sanggup hidup menderita? Apalagi dalam waktu yang lama. Soal waktu
memang soal relatif. Bisa lama bisa sebentar. Itulah sebabnya kenapa yang
penting dalam hidup ini bukanlah soal uang tapi semata soal waktu. Seperti
pribahasa Inggris Time is Money, waktu adalah uang. Masalahnya: ada waktunya
kita punya uang, ada waktunya kita bokek. Tapi persoalannya, kita sering bokek
dalam waktu yang berkepanjangan. Tak mengapa, yang penting kita sambut lebaran,
waktunya bermaaf-maafan. Asal jangan buat memaafkan koruptor. Wassalam.
(Historia -
Bonnie Triyana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar