Oleh Zen RS | Newsroom Blog – 16/09/13
Kalau Indonesia tak boleh jadi “bangsa tempe” seperti diwejangkan
Soekarno, bolehkah jadi “bangsa pizza” atau “bangsa spaghetti”?
Jika tempe sempat atau bahkan masih diasosiasikan sebagai makanan kelas rendahan, barangkali Soekarno yang sedikit banyak kudu bertanggungjawab.
Pidatonya pada 17 September 1963, yang diberi judul Genta Revolusi Indonesia, berkali menyebut “tempe” dengan pengertian yang nyaris sepenuhnya negatif.
Dalam pidato yang dibacakannya di Stadion Utama Senayan itu, setidaknya Soekarno menyebut “tempe” sebanyak 7 kali. Ada tiga kutipan tentang “tempe” di pidato itu yang menarik untuk dibicarakan justru karena relevansinya dengan krisis kedelai yang berimbas pada melonjaknya harga tempe belakangan ini.
Kutipan “tempe” pertama muncul saat dia menjelaskan keagungan dan kejayaan nenek moyang Indonesia. Begini kutipannya: “Tradisi bangsa Indonesia bukan tradisi tempe. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok.”
Dalam kutipan itu, “tempe” jelas diasosiasikan sebagai hal ihwal yang lembek, lemah, dan tak berdaya. Membandingkan antara “tradisi tempe” dengan kejayaan menguasai perdagangan di jalur samudera menghadirkan kontras yang kelewat tajam.
Dari sejenis makanan, Soekarno mengajak pendengarnya untuk membayangkan kapal-kapal kokoh yang mengarungi lautan yang ganas oleh ombak dan perompak.
Kutipan “tempe” yang jauh lebih menarik dan lebih alegoris muncul saat Soekarno berbicara tentang kemandirian, tentang “berdiri di atas kaki sendiri” yang belakangan akronimnya, “berdikari”, malah jadi lema tersendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Begini kutipannya: "Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diémbél-émbéli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplék tetapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak."
Pada kutipan itu, tempe disandingkan bukan dengan kapal-kapal yang jadi urat-nadi kejayaan Nusantara di jalur-jalur penting perdagangan di lautan. Di situ, tempe dibandingkan dengan jenis makanan juga yaitu “gaplek” dan “bistik”. Karena sama-sama disandingkan dengan makanan, maka kita tak merasakan kontras yang tajam.
Persoalannya: jika gaplek adalah salah satu opsi jika ingin menjadi bangsa yang berdikari, sedangkan bistik adalah simbol kemewahan yang boleh jadi mesti ditukar dengan kemerdekaan, maka tempe berada di mana? Kutipan di atas menjelaskan bagaimana Soekarno menganggap “bangsa tempe” sebagai bangsa yang tak mandiri, yang hidup dengan bantuan dari negara lain.
Kutipan kedua ini menarik jika diperlakukan sebagai serangkaian alegori. Kita tahu, tempe tak bisa jadi semata hanya mengandalkan kacang kedelai. Bahan baku tempe memang kacang kedelai, tapi kedelai baru bisa jadi tempe setelah melewati proses peragian. Artinya, butuh ragi sebagai unsur tambahan agar kedelai bisa berubah menjadi tempe.
Inilah kiranya yang membuat Soekarno menggunakan frase “bangsa tempe” saat sedang berbicara tentang bangsa besar yang tak akan pernah “mengemis, tidak akan akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diémbél-émbéli dengan syarat ini syarat itu!”.
Saat berbicara tentang kemandirian dan kemerdekaan, dia menyebut makanan “gaplek”.
Kita tahu, proses pembuatan gaplek lebih praktis dan tidak membutuhkan bantuan dari unsur eksternal berupa jamur atau ragi. Singkong cukup dikupas, dicuci sampai bersih, dipotong-potong/diiris sesuai kebutuhan, direndam, dan lalu dijemur sampai kering. Jadilah gaplek.
Kadang memang dibutuhkan sedikit garam saat potongan/irisan singkong itu direndam, tapi potongan singkong tetap jadi gaplek walau hanya dijemur begitu saja. Pada gaplek, potongan singkong itu dibiarkan menjadi gaplek melalui tempaan waktu, suhu, panas, dan dingin udara.
Dan Soekarno memang sering berbicara tentang Indonesia yang “asli”, Indonesia yang “matang oleh berbagai tempaan kondisi dan situasi”. Soekarno selalu berbicara, bahwa revolusi ala Indonesia tumbuh bukan karena ragi yang dibiakkan dari luar, entah itu karena didikte Moskow atau Peking.
Inilah yang dimaksud Soekarno pada pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dibacakan pada 17 Agutus 1959, sebagai Indonesia yang “…hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnja masyarakat kita”.
Pada kutipan ketiga, Soekarno menyebut tempe saat sedang berbicara tentang bangsa yang berani menghimpun kekuatan sekaligus menyerempet-nyerempet bahaya. Jika pada kutipan pertama dan kedua Soekarno membandingkan tempe dengan kapal-kapal dan jenis-jenis makanan, pada kutipan ini dia membandingkan tempe dengan bintang.
Berikut kutipannya: “Kita-ini satu fighting nation apa tidak? Kita-ini satu bangsa tempe, ataukah satu bangsa banteng? Kalau kita satu bangsa yang berjuang, kalau kita satu fighting nation, kalau kita satu bangsa banteng, dan bukan satu bangsa tempe, – marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya, berani ber-Vivere Pericoloso!”
Di situ, tempe dikontraskan dengan banteng. Jika banteng adalah bintang yang dianggap berani menyerempet bahaya, berani menyeruduk-nyeruduk, maka tempe dijadikan alegori bangsa yang penakut, tak berani bertindak, dan enggan melawan.
Untuk diketahui, banteng kadang dijadikan simbol sebagai kekuatan bumiputera oleh para raja di Jawa. Dalam acara-acara hiburan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat Belanda, raja-raja Jawa memang kerap menampilkan adu antara banteng dan harimau. Saat itu, harimau kerap jadi simbol Eropa, orang-orang kulit putih.
Tempe saat itu dibuat dengan lebih dulu mengupas kulit kedelainya dengan cara diinjak-injak. Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakopti), Aip Syarifudin, metode mengupas kedelai dengan menginjak-injak bahkan masih banyak dilakukan sampai sekarang.
Maka ketika Soekarno menyimpulkan, masih dalam pidato yang sama, bahwa Indonesia ternyata “…bukan negeri-témpé yang mudah ditémpékan orang”, maka kira-kira itu artinya adalah: Indonesia yang mandiri; yang berkembang dan tumbuh karena kekuatan sendiri, walau pun harus makan gaplek; dan bukan bangsa yang berkembang karena bantuan ragi yang diberikan bangsa lain; juga bukan bangsa yang sudi diinjak-injak agar segala kekurangan dan rintangannya terkelupas.
Dalam isu pangan, termasuk dalam soal kedelai dan tempe, seluruh kosa kata Soekarno di atas bisa diringkas ke dalam apa yang kita kenal sekarang sebagai “kedaulatan pangan”.
Konsep ini sebenarnya adalah pengembangan, tapi kemudian menjadi anti-tesis, dari konsep “ketahanan pangan”. Jika “ketahanan pangan” mengisyaratkan ketersediaan pangan tak peduli dari mana pun asalnya [mau dari Vietnam atau Australia tak mengapa, yang penting tersedia], maka “kedaulatan pangan” mengisyaratkan bahwa sebaik-baiknya ketersediaan pangan adalah yang dipasok dari bumi kita sendiri, dari sawah dan ladang petani sendiri.
Tempe lagi-lagi bisa kita “seret” untuk dijadikan alegori tentang upaya membangun “kedaulatan pangan”.
Seperti yang pernah diuraikan oleh almarhum Ong Hok Ham, populernya tempe di Nusantara dimulai pada abad-19 di tlatah Jawa. Memasuki abad 19 itu, penduduk Jawa melonjak secara drastis sehingga Jawa saat itu jadi wilayah paling padat di Asia Tenggara. Di sisi lain, asupan makanan juga semakin menipis karena lahan-lahan garapan semakin banyak yang dilahap jadi perkebunan-pekebunan kolonial. Hutan-hutan mulai dialihfungsikan menjadi kebun kopi, teh atau tembakau.
Fenomena itu diikuti oleh sistem tanam paksa dengan para petani sebagai kulinya, membuat kesempatan berburu, beternak, atau pun memancing, jadi banyak berkurang. Dampaknya, menu makanan daging orang Jawa jadi berkurang. Kondisi semacam itu, tulis Ong, yang tampaknya memunculkan tempe sebagai alternatif penyelamat kesehatan rakyat di Jawa.
Lewat uraiannya itu, sejarawan eksentrik yang masyhur karena kecintaannya pada dunia kuliner ini seperti hendak mengatakan bahwa tempe adalah siasat rakyat kecil untuk bertahan hidup. Dengan kandungan proteinnya yang tinggi, yang membuat tempe kadang disebut sebagai “hasil perkebunan daging”, rakyat Jawa mencoba bertahan di tengah banjir bandang modal asing yang memunculkan jutaan hektar onderneming-onderneming di pelosok dan lereng-lereng gunung Jawa.
Soekarno tak pernah menyebut tempe sebagai makanan orang miskin. Seperti yang sudah diuraikan di atas, tempe dalam kosa kata Soekarno adalah alegori tentang bangsa yang tak mampu tumbuh dengan kekuatan sendiri, bangsa yang enggan bertarung dan ikhlas diinjak-injak.
Di ranah sehari-hari, dalam realitas yang diuraikan Ong tadi, tempe sebenarnya serupa gaplek: sama-sama sebagai “jaring pengaman perut” saat pangan utama sulit diakses, baik karena pasokan yang kurang atau karena harga yang kelewat mahal.
Sebagai “jaring pengaman perut”, tempe sudah ratusan tahun jadi benteng terakhir rakyat kecil. Nah, ketika benteng terakhir itu jebol dan tak sanggup lagi diakses, apa lagi yang akan dimakan?
Ini yang membuat kita – dengan mengutip Soekarno kembali-- boleh jadi adalah “negeri-témpé yang mudah ditémpékan orang” justru ketika tempe semakin sulit diakses. Bangsa tempe yang sulit makan tempe.
Jika tempe sempat atau bahkan masih diasosiasikan sebagai makanan kelas rendahan, barangkali Soekarno yang sedikit banyak kudu bertanggungjawab.
Pidatonya pada 17 September 1963, yang diberi judul Genta Revolusi Indonesia, berkali menyebut “tempe” dengan pengertian yang nyaris sepenuhnya negatif.
Dalam pidato yang dibacakannya di Stadion Utama Senayan itu, setidaknya Soekarno menyebut “tempe” sebanyak 7 kali. Ada tiga kutipan tentang “tempe” di pidato itu yang menarik untuk dibicarakan justru karena relevansinya dengan krisis kedelai yang berimbas pada melonjaknya harga tempe belakangan ini.
Kutipan “tempe” pertama muncul saat dia menjelaskan keagungan dan kejayaan nenek moyang Indonesia. Begini kutipannya: “Tradisi bangsa Indonesia bukan tradisi tempe. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok.”
Dalam kutipan itu, “tempe” jelas diasosiasikan sebagai hal ihwal yang lembek, lemah, dan tak berdaya. Membandingkan antara “tradisi tempe” dengan kejayaan menguasai perdagangan di jalur samudera menghadirkan kontras yang kelewat tajam.
Dari sejenis makanan, Soekarno mengajak pendengarnya untuk membayangkan kapal-kapal kokoh yang mengarungi lautan yang ganas oleh ombak dan perompak.
Kutipan “tempe” yang jauh lebih menarik dan lebih alegoris muncul saat Soekarno berbicara tentang kemandirian, tentang “berdiri di atas kaki sendiri” yang belakangan akronimnya, “berdikari”, malah jadi lema tersendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Begini kutipannya: "Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diémbél-émbéli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplék tetapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak."
Pada kutipan itu, tempe disandingkan bukan dengan kapal-kapal yang jadi urat-nadi kejayaan Nusantara di jalur-jalur penting perdagangan di lautan. Di situ, tempe dibandingkan dengan jenis makanan juga yaitu “gaplek” dan “bistik”. Karena sama-sama disandingkan dengan makanan, maka kita tak merasakan kontras yang tajam.
Persoalannya: jika gaplek adalah salah satu opsi jika ingin menjadi bangsa yang berdikari, sedangkan bistik adalah simbol kemewahan yang boleh jadi mesti ditukar dengan kemerdekaan, maka tempe berada di mana? Kutipan di atas menjelaskan bagaimana Soekarno menganggap “bangsa tempe” sebagai bangsa yang tak mandiri, yang hidup dengan bantuan dari negara lain.
Kutipan kedua ini menarik jika diperlakukan sebagai serangkaian alegori. Kita tahu, tempe tak bisa jadi semata hanya mengandalkan kacang kedelai. Bahan baku tempe memang kacang kedelai, tapi kedelai baru bisa jadi tempe setelah melewati proses peragian. Artinya, butuh ragi sebagai unsur tambahan agar kedelai bisa berubah menjadi tempe.
Inilah kiranya yang membuat Soekarno menggunakan frase “bangsa tempe” saat sedang berbicara tentang bangsa besar yang tak akan pernah “mengemis, tidak akan akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diémbél-émbéli dengan syarat ini syarat itu!”.
Saat berbicara tentang kemandirian dan kemerdekaan, dia menyebut makanan “gaplek”.
Kita tahu, proses pembuatan gaplek lebih praktis dan tidak membutuhkan bantuan dari unsur eksternal berupa jamur atau ragi. Singkong cukup dikupas, dicuci sampai bersih, dipotong-potong/diiris sesuai kebutuhan, direndam, dan lalu dijemur sampai kering. Jadilah gaplek.
Kadang memang dibutuhkan sedikit garam saat potongan/irisan singkong itu direndam, tapi potongan singkong tetap jadi gaplek walau hanya dijemur begitu saja. Pada gaplek, potongan singkong itu dibiarkan menjadi gaplek melalui tempaan waktu, suhu, panas, dan dingin udara.
Dan Soekarno memang sering berbicara tentang Indonesia yang “asli”, Indonesia yang “matang oleh berbagai tempaan kondisi dan situasi”. Soekarno selalu berbicara, bahwa revolusi ala Indonesia tumbuh bukan karena ragi yang dibiakkan dari luar, entah itu karena didikte Moskow atau Peking.
Inilah yang dimaksud Soekarno pada pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dibacakan pada 17 Agutus 1959, sebagai Indonesia yang “…hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnja masyarakat kita”.
Pada kutipan ketiga, Soekarno menyebut tempe saat sedang berbicara tentang bangsa yang berani menghimpun kekuatan sekaligus menyerempet-nyerempet bahaya. Jika pada kutipan pertama dan kedua Soekarno membandingkan tempe dengan kapal-kapal dan jenis-jenis makanan, pada kutipan ini dia membandingkan tempe dengan bintang.
Berikut kutipannya: “Kita-ini satu fighting nation apa tidak? Kita-ini satu bangsa tempe, ataukah satu bangsa banteng? Kalau kita satu bangsa yang berjuang, kalau kita satu fighting nation, kalau kita satu bangsa banteng, dan bukan satu bangsa tempe, – marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya, berani ber-Vivere Pericoloso!”
Di situ, tempe dikontraskan dengan banteng. Jika banteng adalah bintang yang dianggap berani menyerempet bahaya, berani menyeruduk-nyeruduk, maka tempe dijadikan alegori bangsa yang penakut, tak berani bertindak, dan enggan melawan.
Untuk diketahui, banteng kadang dijadikan simbol sebagai kekuatan bumiputera oleh para raja di Jawa. Dalam acara-acara hiburan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat Belanda, raja-raja Jawa memang kerap menampilkan adu antara banteng dan harimau. Saat itu, harimau kerap jadi simbol Eropa, orang-orang kulit putih.
Tempe saat itu dibuat dengan lebih dulu mengupas kulit kedelainya dengan cara diinjak-injak. Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakopti), Aip Syarifudin, metode mengupas kedelai dengan menginjak-injak bahkan masih banyak dilakukan sampai sekarang.
Maka ketika Soekarno menyimpulkan, masih dalam pidato yang sama, bahwa Indonesia ternyata “…bukan negeri-témpé yang mudah ditémpékan orang”, maka kira-kira itu artinya adalah: Indonesia yang mandiri; yang berkembang dan tumbuh karena kekuatan sendiri, walau pun harus makan gaplek; dan bukan bangsa yang berkembang karena bantuan ragi yang diberikan bangsa lain; juga bukan bangsa yang sudi diinjak-injak agar segala kekurangan dan rintangannya terkelupas.
Dalam isu pangan, termasuk dalam soal kedelai dan tempe, seluruh kosa kata Soekarno di atas bisa diringkas ke dalam apa yang kita kenal sekarang sebagai “kedaulatan pangan”.
Konsep ini sebenarnya adalah pengembangan, tapi kemudian menjadi anti-tesis, dari konsep “ketahanan pangan”. Jika “ketahanan pangan” mengisyaratkan ketersediaan pangan tak peduli dari mana pun asalnya [mau dari Vietnam atau Australia tak mengapa, yang penting tersedia], maka “kedaulatan pangan” mengisyaratkan bahwa sebaik-baiknya ketersediaan pangan adalah yang dipasok dari bumi kita sendiri, dari sawah dan ladang petani sendiri.
Tempe lagi-lagi bisa kita “seret” untuk dijadikan alegori tentang upaya membangun “kedaulatan pangan”.
Seperti yang pernah diuraikan oleh almarhum Ong Hok Ham, populernya tempe di Nusantara dimulai pada abad-19 di tlatah Jawa. Memasuki abad 19 itu, penduduk Jawa melonjak secara drastis sehingga Jawa saat itu jadi wilayah paling padat di Asia Tenggara. Di sisi lain, asupan makanan juga semakin menipis karena lahan-lahan garapan semakin banyak yang dilahap jadi perkebunan-pekebunan kolonial. Hutan-hutan mulai dialihfungsikan menjadi kebun kopi, teh atau tembakau.
Fenomena itu diikuti oleh sistem tanam paksa dengan para petani sebagai kulinya, membuat kesempatan berburu, beternak, atau pun memancing, jadi banyak berkurang. Dampaknya, menu makanan daging orang Jawa jadi berkurang. Kondisi semacam itu, tulis Ong, yang tampaknya memunculkan tempe sebagai alternatif penyelamat kesehatan rakyat di Jawa.
Lewat uraiannya itu, sejarawan eksentrik yang masyhur karena kecintaannya pada dunia kuliner ini seperti hendak mengatakan bahwa tempe adalah siasat rakyat kecil untuk bertahan hidup. Dengan kandungan proteinnya yang tinggi, yang membuat tempe kadang disebut sebagai “hasil perkebunan daging”, rakyat Jawa mencoba bertahan di tengah banjir bandang modal asing yang memunculkan jutaan hektar onderneming-onderneming di pelosok dan lereng-lereng gunung Jawa.
Soekarno tak pernah menyebut tempe sebagai makanan orang miskin. Seperti yang sudah diuraikan di atas, tempe dalam kosa kata Soekarno adalah alegori tentang bangsa yang tak mampu tumbuh dengan kekuatan sendiri, bangsa yang enggan bertarung dan ikhlas diinjak-injak.
Di ranah sehari-hari, dalam realitas yang diuraikan Ong tadi, tempe sebenarnya serupa gaplek: sama-sama sebagai “jaring pengaman perut” saat pangan utama sulit diakses, baik karena pasokan yang kurang atau karena harga yang kelewat mahal.
Sebagai “jaring pengaman perut”, tempe sudah ratusan tahun jadi benteng terakhir rakyat kecil. Nah, ketika benteng terakhir itu jebol dan tak sanggup lagi diakses, apa lagi yang akan dimakan?
Ini yang membuat kita – dengan mengutip Soekarno kembali-- boleh jadi adalah “negeri-témpé yang mudah ditémpékan orang” justru ketika tempe semakin sulit diakses. Bangsa tempe yang sulit makan tempe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar