Mayoritas penduduk di republik ini termasuk penyayang binatang piaraan. Setidaknya untuk ukuran masyarakat umum - bisa disebutkan beberapa diantaranya : ayam, kucing, anjing, aneka burung dan lain-lain. Tetapi betulkah demikian dan mengapa perilaku yang jelek justru dialamatkan ke mereka-mereka yang disebut binatang.
Manusia berulah, pepohonan di hutan liar dijadikan komoditas dengan dalih memberikan lapangan pekerjaaan bagi penduduk setempat dan begitu sudah gundul dibiarkan begitu saja. Di belahan bumi lainnya, sejumlah harta karun negeri ini didulang oleh segelintir pengusaha dengan dalih menambang untuk memberikan lapangan pekerjaan.
Bila manusia merawat alam, niscaya yang namanya longsor atau banjir skalanya tidaklah sebesar sekarang ini, jadi bencana nasional. Karena manusia kemaruk dan ingin menghabiskan cadangan sumber daya alam & mineral sekaligus, maka dampak yang didapat adalah ketidak-seimbangan di alam.
Usilnya manusia nih, kalau bencana sudah merebak kemana-mana, lantas dengan entengnya mengatakan Allah tengah menguji iman kita. Padahal Allah SWT selaku Sang Pencipta ngga pernah memberikan hal-hal yang jelek selain memberikan hukuman akibat kelakuan umatnya yang keterlaluan terhadap para utusan-NYA.
Kini, ulah manusia semakin menjadi-jadi, khususnya di republik ini. Setelah meminjam istilah Cicak-Buaya tempo hari, kini giliran Gurita yang dicaci-maki. Padahal jujur saja para binatang ini kalau diberi kesempatan membela diri, mereka pasti ngga rela dibawa-bawa dan dijadikan bulan-bulanan omongan ngga meng-enak-kan. Hati-hati, para binatang pun mengenal hukum laiknya manusia, "Hukum Rimba" namanya.
Asosiasi binatang sepelosok negeri (bila diijinkan) ingin rasanya berunjuk rasa agar istilah yang dipakai untuk "suatu perbuatan yang tidak baik", jangan mengatas-namakan pihak marga satwa. Pakai saja nama manusia atau kelompok manusia atau membuat istilah baru yang lebih netral ketimbang mendiskreditkan binatang. Ngga hewani rasanya.
Tersebutlah dalam kamus pergaulan sejumlah pelakon penting, seperti : "kambing hitam", "buaya darat", "kupu-kupu malam", "professor kodok", "gurita bisnis", "lintah darat", "ayam kampus", "cinta monyet", "raja singa" dan sederet tokoh lain.
Intinya, konotasi mereka selalu negatif, kurang ajar, seronok dan ya gitu deh. Ibarat kelakuan minus, selalu kena getahnya.
Ruwetnya, manusia yang berbuat keliru ehh … nama yang muncul "loe lagi loe lagi" alias 4L. Nasib benar kau kaum hewani ini. Sampai-sampai Kapten Haddock pun (dalam kisah komik bergambar "Petualangan Tin Tin" ciptaan Herge) melakukan sumpah serapah mengundang nama semua tokoh kebun binatang.
Adilkah manusia menggunakan istilah yang kurang pantas dengan memakai istilah binatang tertentu ? Andai binatang bisa ngomong, kesulitan besar akan menghadang penduduk di negeri ini. Percaya ?
Sumber : RAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar